Pertobatan Sugirah
Oleh: Wahyu Widyaningrum
“Besok
lagi, Ira.” Suara berat lelaki itu membuat tubuh menggigil. Melewati rambut
sebahuku yang sembarangan. Gegas, kuikat cepat helai-helai kusutnya dengan
sesak bergemuruh memenuhi dada. Selalu begini. Setiap malam, neraka ini membakar.
“I…
iya, Mas,” sahutku tergagap. Mengusap serpihan air mata yang entah kenapa
keluar. Semoga Mas Jali tak melihatnya. Ia bakal marah melihatku menangis. Tak
cantik, katanya. Perempuan mana yang cantik saat menangis?
Menautkan
tali kutang kemudian baju yang rasanya membuat sesak. Kaos ketat hitam, jins
biru belel dan tas kecil murahan. Jaket jins sebagai penutup kaos ketat. Sepatu
berhak tinggi yang bakal tergelincir kalau tak biasa memakainya. Harganyapun tak
seberapa. Desain kota yang kampungan.
Langkahku menuju wastafel. Cethak cethok suara sepatu membuatku harus berjingkat sambil
melirik pria kekar itu di kasur. Guyuran air dingin membuat lega. Meskipun tak
selega jiwa yang kusam bahkan hitam bagai jelaga. Lembar-lembar tisu membuat
wajah kembali lembab. Kutatap cermin mungil di atas wastafel. Wajah ayu sang
kembang desa.
Berpatut
sebentar di depan cermin kecil telah membuat percaya diri tumbuh lagi. Kulihat
Mas Jali tertidur walau tampak belum begitu pulas. Di kasur busa biasa kamar
murahan. Kamar 3x3 meter, saksi bisu sejarah perjuangan hidup. Kemanutan perempuan
desa pada sosok lelaki kekar sawo matang.
Ada
cermin di pojok kamar, memanjang, biasa saja tanpa ukiran di pinggirannya. Kaki
kuayun ke sana. Badanku memang tak begitu tinggi, hanya 160 cm. Dengan body
nggak gemuk nggak kurus juga. Proporsional dengan tinggi tubuh. Rambut bercat
coklat marun dengan keindahan yang jujur. Kata Arjuna, -lelaki pertama yang
membuatku terdampar ke dunia penuh warna ini- aku cewek ayu sak jagad, tubuh indah bak pualam.
Ah
pualam kampung, sahutku waktu itu.
Bibir
mungil penuh. Seksi kata bapak sebelum minggat. Gigi rapi dan mata kucing.
Tampak menarik ketika melirik. Itu kata orang-orang yang suka melirik. Mereka
datang pergi entah kemana.
Suara
dengkur membuatku kaget beberapa saat. Huh, Mas Jali memang seperti itu, sampai
hapal kebiasaannya. Setahun ini ia menjadi pelanggan tetap. Pundi-pundi tetap
pemasukanku.
Sret,
sret, bedak duapuluh ribuan kuusap ke wajah ayu. Menutup lebam di pipi,
sedikit. Kuambil gincu dari tas hitam mungil murah meriah, menorehkannya ke
bibir. Merah merona bagai delima matang. Ah, sudahlah. Mau monyong, mau sedih
atau apalah namanya, tetap saja bibirku tampil seksi. Rengkuhan para pecandu perempuan.
Kuambil
2 lembar rupiah warna biru di kasur. Dengan berjingkat, beranjak keluar kamar.
Kulirik Mas Jali sambil menutup pintu. Akan kutinggalkan ia saat tertidur. Dan ia
tetap nyaman dengan suaranya yang teratur. Seperti itu…
Rasa
mual menggelora sesaat. Apakah lelaki selalu seperti itu setelah menyesap
nikmat sesaat?
-ww-
“Kapan
aku dibelikan tas manik-manik, Bu?” suara mungil Ica membuat tertegun. Harganya
memang tak seberapa, tapi hari gini buatku putar otak untuk mendapatkan uang.
“Ehm,
minggu depan, ya. Uangnya buat bayar kost sama listrik dulu.”
“Janji
ya, Bu,” kata Ica tersenyum senang. Janji-janji yang entah kapan bisa terealisasikan.
“Pasti
sayang.”
Kulanjutkan
acara setrikaku sore itu. Ica ceriwis ngomong sama bonekanya saat pertanyaan
lain kembali dicelotehkannya.
“Memang
Om Jali itu siapanya Ibu?”
Si
kecil hasil buah cinta dengan Arjuna, 10 tahun yang lalu. Yang katanya hidup
seperti ini akan mengangkatku dari kemiskinan
desa. Miskin yang menyesakkan dada serta nurani. Semalam Mas Jali memang
menjemputku ke perempatan dekat kost. Dan Ica mengintipnya, aku tahu itu. Untunglah
Mbok Jum, yang momong Ica sudah datang, aku bisa pergi kerja dengan tenang.
“Teman
saja. Memangnya kenapa?” tanyaku mencoba sesantai mungkin menjawab pertanyaannya.
Ica terlampau manis dan kecil memahami kerasnya hidup. Tanganku tetap sigap
melanjutkan setrika kaos untuk nanti malam.
“Tadi
Bunga marah. Katanya Ibu nggak boleh pergi sama Om Jali lagi,” sahut Ica polos.
Aku terkesiap! Bunga?
Sepertinya
Ica tak tahu aku kaget karena ucapannya. Ia tetap sibuk memainkan boneka
lengkap dengan beragam baju itu yang kubelikan dengan penuh perjuangan seminggu
yang lalu. Beli yang agak mahal sekalian. Walau karenanya aku musti menerima
beberapa tawaran tak wajar dalam beberapa malam.
Kulipat
kaos ketat warna biru itu dengan tangan gemetar. Segemetar jiwa dan raga.
“Ehm,
Bunga teman sekelas Ica?” Pertanyaan tak butuh jawaban. Hanya ingin mengalihkan
kegaduhan hati saja.
“Iya,
Ibu kan kenal?” jawab Ica singkat.
Nafas
terasa mencekik tenggorokan.
Mencabut
colokan setrika. Beranjak masuk kamar supaya Ica tak bertanya lagi.
Tempat
kost berukuran tak lebih dari 3x8 meter itu hanya terdapat 2 ruangan. Ruang
tamu dan kamar tidur. Kamar mandi sendiri menyatu dengan kamar tidur. Sisanya
lagi menjadi tempat beragam. Dari ruang tamu sekaligus dapur dan tempat
serbaguna lainnya.
Kubuka
loker mungil tempat baju. Sudah nggak karuan tapi masih bisa dipakai.
“Bu,”
suara Ica mengagetkanku.
“Ya?”
“Ibu
kenal, kan?”
Manggut-manggut
kutatap wajah polosnya.
“Kenal.”
Ica
selalu menanyakan tentang lelaki, kerja, uang dan ayahnya. Kali ini Bunga.
Ica
duduk di kasur tanpa dipan. Kubelai rambutnya yang lebat seperti rambutku.
“Kenapa?
Bunga nakal lagi tadi?” kutanya perlahan. Kemarin, Ica cerita kalau Bunga
merebut buku PR-nya, mau dicontoh. Hari ini apalagi?
Ica
menunduk. Memperlihatkan tangannya. Ada sedikit memar di sana. Kayak bekas
cakaran. Emosi memuncak memenuhi ego sebagai perempuan. Perempuan sampah.
“Bunga
lagi?” tanyaku perlahan.
Ica
mengangguk pilu. Sepilu hati selegam jelaga ini.
“Kukunya
panjang-panjang. Kalau nyakar sakit, Bu,”
Kepalaku
mendidih.
-ww-
Lampu
remang-remang itu tak membuat terasa cantik. Kutolak lengan kekarnya pelan,
tapi tegas.
“Kenapa,
Ira?”
Rengkuhannya
mendadak membuat mual. Wajahku didekatkanya ke mukanya yang membuat makin mual,
dan muak! Tubuhnya merapat erat tubuhku.
“Kenapa?”
Diam
dan hening.
“Ira,
kenapa?”
Aroma
alkohol tercium jelas. Kuserap dan kuhela nafas sepenuhnya. Inilah hidup!
“Sudah
kubilang tolong jangan ganggu Ica dengan Bunga. Ica tak tahu apa-apa, Mas,”
kutahan penuh emosi. Tapi tangannya makin erat mencengkeram wajah.
“Lepasin,”
suaraku pelan, kuenyahkan tangan kekar
itu dari wajah.
“Sakit,
Mas,” tertekan. Kucoba menolak. Marah, sangat marah!
Tangannya
perlahan ke bawah, punggung, pinggang… Jiwaku keropos, tangisan rasa yang kata
orang Jawa embuh…
“Hei,
ingat, ya, kita sudah deal!” Seruannya membuat terpaku. Jiwa terpuruk. Deal,
deal dan deal. Demi hidup?
Tangan
kekarnya mulai menyudutkan. Dengan gayanya sendiri. Yang tak wajar. Kesakitan
yang kutahan. Aku manut dan mawut. Benar kata orang, aku memang
sampah!
-ww-
“Dasar
wanita ja…!” suara beratnya sebelas duabelas dengan Mas Jali.
“Apa?”
kukeluarkan keberanianku. Siapapun bisa melebihi singa kalau dilecehkan terus
seperti ini. Geram bukan main.
Tubuh
perempuan setengah tua itu gempal, dengan sorot mata galak. Daster andalan dan
bau prengus membuat semua orang tak tahan untuk menutup hidung.
Seperti itu, mana ada
lelaki yang betah bersamaya? Huh!
Ia
mengumpat dengan kata-kata kotor. Kata-kata yang sangat jarang kukeluarkan
dari mulut walau hidup berlumur dosa. Ia
meludahi tanpa ampun, seolah orang suci sak
jagad. Tangannya mulai mencakar wajah
dan menarik rambut, ganas beringas. Tetangga kost datang berkerumun. Ini
wilayahku!
Perempuan
gempal itu berlalu marah. Gedebug kakinya membuat emosi makin di ujung tanduk.
Lalu, tangisan histeris Ica menyadarkanku.
-ww-
“Pergi, pergi….” Mimpi mengerikan
tentang wanita gempal itu membuat luluh lantak persendianku. Edan!
Kuhidupkan
ponsel, yang kumatikan sejak sesudah maghrib tadi. Memutuskan libur malam ini
dari gemerlap kota kecil di lereng Ungaran. Tak peduli dengan umpatan Mas Jali.
Juga beberapa pelangan yang sudah menjadi langganan jeng jeng. Mbuh, aku kesil, saking kesel-le.
Sederet
pesan WA masuk juga dari bos, besok harus ada alasan untuk hal seperti ini. Uh…
dan SMS!
“Mbak,
iki Siti. Simbok sakit. Kasihan, Mbak
pulang, ya. Eh Mas Arjuna kemarin datang cariin Mbak Sugirah. Sekarang aneh dia
Mbak, beda. Ora koyo ndisik.”
Hah?
Arjuna ke rumah reyotku di samping masjid? Mau apa dia? Setelah aku kabur dari
ibukota bertahun-tahun yang lalu, tak kuketahui lagi kabarnya. Lalu aku
terdampar di kota kecil ini, bersama bayi yang kulahirkan dibantu Mok Jum –yang
tetap setia menemani walau dengan imbalan seadanya- 7 bulan sesudahnya.
Atau,
ia tahu aku yang maling dompetnya karena dia mabuk malam itu? Badan menggigil
tak karuan. Dan ia menagih uang yang ada dalam dompetnya yang kupakai untuk
minggat? Jangan-jangan…
Arjuna,
pria tampan yang kukenal di jalanan. Membuatku terdampar di kehidupan seperti
ini hasil rayuan mautnya. Hanya tergiur sesaat. Ingin mentas dari kehidupan ndeso yang sama sekali tak menarik bagi
seorang kembang desa. Kata orang-orang, Sugirah ki sugih-he turah-turah. Yang sama dengan kaya berlebihan. Apalah
arti sebuah nama?
Siti
sepupuku, anak yatim piatu yang selama ini merawat ibu. Ibu sudah sepuh dan
ditinggal minggat Bapak. Ibu yang hanya jualan sayur dari kebun untuk
menyambung hidup. Yang kukirim beberapa rupiah tak tentu saban bulannya.
Air
mata mulai mengalir deras. Besok, besok aku harus pulang ke desa. Yang tak
lebih dari 30 kilometer dari sini. Hidup kelam ini memang kusimpan rapat-rapat,
tak ada yang tahu.
-ww-
Pagi
itu, aku ingin memamitkan Ica di sekolah. Ingin kuajak mbalik ndeso. Sudah bulat keputusanku.
Begitu
riuh suara anak sekolah sedang istirahat. Kakiku belum sempat melangkah ke
anak-anak tangga menuju halaman sekolah, ketika pintu sekolah yang tak tertutup
rapat itu terbuka cepat. Ica berlari sambil menangis. Dan, Bunga! Bunga
mengejarnya!
“Ca,
Awas kalau ibumu….” Suaranya menggelegar, seperti si gempal ibunya.
Ica
tak menggubris keberadaanku. Ia terus berlari ke jalan raya dan menyeberang tanpa
melihat kiri kanan.
“Ica!”
Jalanan ramai membuatku teriak memanggil namanya.
Bunga
tak mau kalah, kakinya terus mengejar dan menuju jalan…
Cittt,
brak!
“Arghh…”
Jeritan
Bunga menghilang. Mataku memanas, langkah lunglai di persendian terakhir. Ica
histeris di seberang jalan. Mobil hitam itu berhenti mendadak. Dua sosok
manusia keluar dari dalam mobil penuh kepanikan. Lelaki kekar yang sangat kukenal
dengan segala gaya aneh bercintanya dan perempuan bertubuh gempal.
Orang-orang
mulai berkerumun.
Ceceran
darah membuatku limbung…
-ww-
Kematian
itu rencana illahi. Uang dan kematian kadang beda tipis. Perjuangan bukan
dengan cara menjadi sampah. Skenario hidup apa lagi yang harus kulakoni?
Suara
ayat Al-Qur’an sungguh menyentuh dari tape di dekat mikrofon. Aku berzikir di
pojok masjid. Ica bermain di halaman masjid bersama teman-teman barunya. Ibu dan
Mbok Jum tersenyum dari rumah sederhana -yang dulu kubilang reyot- samping
masjid. Siti sibuk melayani beberapa pembeli di warung, tepatnya di teras rumah
ibu.
Air
mata mengalir tanpa bisa kubendung. Ya Allah, tobat seperti apa yang harus
kulakukan? Kuusap mataku, beranjak ke rak masjid. Mengambil beberapa mukena dan
sajadah untuk membawa pulang dan mencucinya.
Sebuah
mobil putih berhenti tepat di halaman masjid. Memang masjid desa sering
dijadikan ampiran orang-orang dalam perjalanan ke kota atau sebaliknya. Untuk
istirahat ataupun sholat.
Kakiku
melangkah keluar masjid. Di saat bersamaan, sesosok lelaki yang keluar dari
mobil itu menaiki tangga masjid. Dengan baju santun dan kopiah hitam sederhana. Melangkah perlahan, ujung mataku tanpa sengaja menghujam matanya. Mulut
menganga, peluh kelam menyesakkan dada. Sosok itu, pria yang telah membuatku
teronggok menjadi sampah.
“I… Ira?”
Mulutku
merapal sebuah nama. Bergegas menuruni tangga masjid. Menemukannya di rumah
Allah adalah keajaiban. Ada apa dengan pertobatan ini?
-ww-
Baca juga:
Penasaran sama sosok Arjuna. Ceritanya bagus Kak. Aku penasaran gimana kelanjuran hidup Ira. Ga sabar baca lanjutannya
BalasHapusSuka dengan kata ini, kematian itu rencana illahi, lalu ada pula uang dan kematian beda tipis di tambah perjuangan bukan dengan cara menjadi sampah.
BalasHapusAduduu..aku ikut tepekur di sudut masjid nih.. Nice story, mba..
BalasHapusMasih ada kelanjutannya nggak mbak? Hehehe
BalasHapusMba, yg ketemu di masjid itu siapa? Arjuna kah? Huhuuu penasaran ih
BalasHapusLalu sebenarnya Om Jali itu siapa sih sebenarnya?
BalasHapusIhhh seru abis. Ini bersambung kan ya(?). Saya bookmarked dulu. Kasian banget Sugirah. Moga2 Arjuna itu orang baik. Dia ketemu siapa di masjid?
BalasHapusSemoga pertobatan Sugirah dimudahkan. Memang tak mudah keluar dari jaring-jaring dunia malam yang sungguh rumit. Ga jarang dimanfaatkan pihak yang manipulatif demi keuntungan mereka sendiri sementata wanita aeperti Ira hanya diperas dan tak kunjung makmur. Lanjutkan!
BalasHapusHoooo...cerpen dewasa. Aku masih terlalu muda buat membaca cerita seperti ini.
BalasHapusDulu pernah bercita-cita bikin cerpen atau novel. Tapi gak jadi-jadi. Ke sininya lebih sreg numis berdasarkan pengalaman.
BalasHapusSebuah pelajaran penting, semoga kita selalu bisa memetik kebaikan dari apa yang terjadi di sekitar
BalasHapusTerpaksa membaca cepat beberapa bagian, berasa belum cukup umur, hehehe. Btw, semoga kita bisa memetik pelajaran dari cerita ini, cerita tentang sebuah pertobatan.
BalasHapusItu kecelakaan yang mengerikan ya, aduduuuh
BalasHapusCakep cerita dan plot twist nya, udah biasa bikin fiksi jadi terlihat lentur gini kalimat nya
Gak ada niat buat dijadiin novel kak?? Ceritanya bagus. Saya sampai berkali-kali bacanya
BalasHapusAku suka bahasanya penuh kiasan. Meski begitu artinya cukup dalam. Jadi sedih membaca alur ceritanya. Dan masih banyak wanita jalanan yang harus berjuang demi hidupnya meski cara yang ditempuhnya salah. Semoga mereka segera taubat karena jalan yang ditempuhnya benar-benar salah....
BalasHapusHikmah yang bisa kita dapatkan dari cerita ini ya kak, semuanya sudah digariskan Tuhan. Hidup penuh kejutan jadi kudu disiapkan apapun yang bakalan terjadi ya
BalasHapusAduh, kenapa harus terjadi kecelakaan itu sih. Kan jadi sedih ceritanya :(
BalasHapusItu siapa eh yang ketemu dimasjid, penasaran ini. Saya suka bahasa penyampaiannya, enak dibaca
BalasHapusMenarik ceritanya, sempet gak nyangka bakal kisah seorang perempuan yang seperti ini, tapi cukup menarik. Penasaran apa yang terjadi dengan Sugirah selanjutnya. Tapi... di beberapa bagian menurutku terlalu cepat ceritanya, seakan mengejar waktu
BalasHapusWah Arjuna ternyata tobat lebih dahulu. Emosiku teraduk2 baca cerita ini. Apalagi kasusnya ttg perempuan yg dilecehkan. Itu menyakitkan.
BalasHapusAku kaget, kirain Ica yang tertabrak. Ternyata Bunga
BalasHapusMenarik ceritanya mbak. Pilihan diksinya keren
Lanjutin dong jadi cerbung. Penasaran deh aku
Plot twist nya mantap..
BalasHapusBtw keren bgt bisa nulis fiksi semengalir ini...
Enak dibacanya
Membaca artikel ini seolah-olah aku berada di dalam kisahnya, tapi ini kisah nyata atau nggak yaa? Aku penasaran kelanjutan kisahnya seperti apa.
BalasHapusWaah itu kangmas arjuna ya yang berpapasan di masjid? Akankah kmai temukan lanjutannya?
BalasHapusCerita bersambung kaak gini emang bikin penasaran. Aku penasaran sama kelanjutannya.
BalasHapusKeren banget cerpennya, bisa mengaduk-aduk perasaanku. Marah, emosi, dan akhirnya aku meneteskan air mata saat sugirah bertaubat.
BalasHapusbahasanya mengalir dan bikin aku baca sampai habis
Hm.. menarik. Aku jadi penasaran gimana kelanjutan cerita si Arjuna dan Ira ini. Lanjutin dong kak
BalasHapusBagus, seruuuu diksi bagus Wah ini harusnya masuk Koran atau majalah mbak Wid,
BalasHapusKalau boleh saran 1 postingan jangan kebanyakan mbak jdi biar tetep senapsaran sama cerita selanjutnya gitu, biar nggak begitu lier bacanya hehehe. Tapi jago ini cerpennya
Kubaca tanpa skip dan jeda. Apa ada kelanjutannya? Tapi kalau cerpen sepertinya sudah selesai nih
BalasHapusjdi penasaran setelah pertobatan sosok pria itu mb. sepertinya ending dari cerita ini susah ditebak, baca alur dari awal sampai akhir aja byk hal-hal tak terduga. hi
BalasHapusMenarik ceritanya mbak, walau cerita ini sepertinya kurang cocok untuk seusia saya... Jadi penasaran Om Jali itu siapa ya?
BalasHapus