Bedah Cerpen Hujan Kakeane Karya Agus Surawan
di Kopdar Penulis Ambarawa
Dear,
Sobat semua…
Kopi
darat Komunitas Penulis Ambarawa akhirnya bisa terlaksana. Ahad, 17 Desember
2017, kopdar membahas cerpen Mas Agus Surawan, ketua Penarawa. Yang judulnya
mungkin bikin sebagian orang mikir. Hujan Kakeane!
Sebetulnya
sedikit ragu waktu mau berangkat kopdar. Mendung sudah menggelayut di desaku,
Sumowono. Sudah kayak berkejaran dengan hujan, nih. Mau nggak datang, nanggung
sudah siap-siap. Mau datang, duh kayaknya bakalan hujan deras. Pilihanku sih
simple saja. Datang, dengan resiko kehujanan. Nyeyup (berteduh) dan bisa nongkrong di emperan jalan lihat hujan
tumpah ruah ke bumi ^tsahhh.
Jadwal
acara pukul 10.00 WIB, di Gedung Kesenian Ambarawa. Gedung keren nan unik yang
dipakai banyak komunitas untuk berkarya. Agak molor juga sampai sana. Yang ada
baru Mas Agus sama Arnold. Untunglah beberapa teman kemudian datang, satu
persatu.
Ngumpul
sekitar 14 orang. Tak hanya anggota lama, ada banyak teman baru yang datang.
Ada yang dari Magelang loh, Banyubiru, juga Karangjati. Bu Yanti hanya datang
tak lebih dari 3 menit, uhuks. Teman Teater 1000 Wajah Ambarawa juga ada. Wah
seru, nih.
Setengah
jam kemudian acara dimulai. Dibuka oleh Mas Agus dengan dimoderatori Mas Rifan
Fajrin. Kemudian masing-masing sibuk membaca cerpen karangan Mas Agus.
Serius membaca cerpen Mas Agus Surawan, Hujan Kakeane |
Cerpen
yang menceritakan tentang hujan ini memang lain dari yang lain. Bercerita
tentang lelaki, motor lanang-nya dan
hujan. Kemudian berteduh di sebuah warung mi ayam. Berjumpa dengan banyak orang
dengan banyak karakter. Saat berkendara kembali, hujan luruh lagi ke bumi.
Teriaklah si tokoh ini. Dengan sedikit emosi yang menggunung. Karena hujan,
cinta atau curhat penulisnya? Eaaa… entahlah.
Oh
ya, cerpen ini sebetulnya nggak selesai, loh. Gegara gempa yang terjadi Sabtu
malam, Mas Agus terbangun. Karena kangen seseorang atau nggak bisa tidur
akhirnya dia membuka lepi dan mulailah melanjutkan cerpennya yang sempat
terpenggal ini. Jadilah. Kalau nggak ada gempa, jadi nggak, ya? ^mikir hihihi.
Mas Rifan serius banget |
Mbak
Winda mencerna cerpen dengan konflik yang tak begitu jelas. Mas Wahyu dengan
majas, ejaan juga berbagai istilah rumit yang sangat detil. Mas Rifan sendiri
kritikannya tajam banget terutama untuk kalimat langsung yang tanpa tanda petik
^plak!
Begitu
juga Pak Joko, Mas Azhar, Pak Artoyo dan Mas Daniel yang melihat cerpen dari
sisi teaternya. Menurut Mas Daniel cerpen Hujan Kakeane ini malah penuh dengan
konflik. Dari awal hingga akhir. Di paragraf pertama sudah jelas disebutkan
kisah dari cerpen ini. Seharusnya tak ada pertanyakan lagi. Ada Bahasa Jawa
yang menurutnya yang paham hanya orang Jawa saja, bisa jadi orang luar nggak
tahu. Harus ada keterangan untuk memperjelasnya.
Mbak
Arinda yang nggak datang juga sempat mengulas cerpen ini di WA. Menurutnya cerpen
Mas Agus sejenis FTS (Flash True Story) atau FF (Flasf Fiction). Disebut cerpen kurang panjang. Btw bahasanya sudah oke
punya. Karakter tokoh yang tanpa nama juga jelas banget, emosian. Untuk setting mungkin
bisa lebih detil lagi. Bisa saja mengeksplor lokalitas Banyubiru dan
sekitarnya.
Buatku
sendiri cerpen ini sungguh unik. Nggak membosankan dan kubaca tuntas sampai
akhir. Bahkan membacanya beberapa kali loh. Dari awal membaca agak bingung juga,
sih. Di otakku sudah terpatri membaca cerpen..Pas membacanya, antara artikel,
cerpen atau esai, ya?
Tapi
nggak masalah, aku bisa asik terus lanjut sampai akhir. Nulis kalau kebanyakan kotak
yang mengukung di otak malah susah. Apalagi harus gini gitu banyak larangan
atau aturan malah bikin mules perut, pusing, dan nggak jadi nulis. Jadi bebaslah
berkreasi. Aku malah terpikir kalau cerpen ini sinopsis sebuah iklan motor.
Kayaknya dengan sedikit dialog dan karakter kuat hasilnya keren maksimal.
Ada
beberapa kesimpulan versi Mas Agus yang diposting di FB, dan tambahan dariku:
1. Deskripsi
musti lebih detil.
2. Setting
tempat ambil yang paling kita pahami.
3. Suasana,
gerak tubuh, tatapan mata, ekspresi orang harus lebih menyentuh perasaan. Tapi
tetap proporsional.
4. Ada
konflik yang tajam.
5. Penulis
harus berjarak dengan karyanya. Jangan tulis semua, sisakan sebagian. Ini
membuat penasaran.
6. Beri
adegan dramatik dalam tulisanmu.
7. Dialog
yang asik dan menggemaskan. Bikin pembaca terpaku, terpana bahkan sampai hapal,
hehehe.
Yap,
hari sudah makin siang. Suara keriuhan di depan Gedung Kesenian, yaitu Gedung
Pemuda karena ada sunatan massal bikin suasana makin seru saja. Masih ada
ngobrol santai setelah itu. Lalu, apalagi kalau bukan foto bersama? Hihihi.
Selain bedah cerpen, bagiku sendiri acara kopdar seperti ini jadi ajang silaturahmi.
Me time juga secara emak rempong butuh piknik ups.
Ngumpul dulu :) |
Sebagai pengingat juga, menulis
itu urusan hati dan urusan memotong kemalasan saja. Kalau hatinya berkenan ya
menulislah. Apapun bisa ditulis. Nggak hanya cerpen. Kisah, perjalanan,
langkah, cinta, Tuhan, peradapan, emosi, bahkan daun yang jatuh dari dahan bisa
jadi kisah romantis.
Aturan
iya jelas dipertimbangkan, namun aturan tak boleh membuat kita jadi takut untuk
menulis. Keluarkan apa yang ada tapi tetap dengan jarak dan tidak sepenuhnya.
Simpan beberapa persen untuk tulisan berikutnya. Biar nggak jenuh, nggak males,
nggak kebanyakan alasan dan merdeka ^hallah! Itu yang bikin orang penasaran. Semangat
literasi, semangat menulis…
Gimana,
sudah nulis apa hari ini?
Baca
juga:
Banyak hal yang telah dibicarakan pada diskusi kemarin. Bagi saya masih tetap sama, cerpen ini perlu untuk dipertajam lagi dari segi pemaparan konfliknya. Suasana juga harus dibangun di dalam tubuh cerpen tersebut. Sehingga cerpen ini menjadi lebih keren lagi.
BalasHapusSalam
Nulis komentar bang. hehehe. Saya mencoba nulis blog rutin tp kdg suka malas... hiks
BalasHapusKopdar sambil bedah cerpen asyiknya, pasti banyak sisi positifnya
BalasHapus