Mas Trisno,
Melihat dari yang Sederhana,
Menebar
Harmoni di Desa Menari, Kampung Berseri Astra Tanon
Bergeraklah
dengan contoh,
bahwa kita orang
yang merdeka dalam pikiran dan perbuatan
(Trisno, Kreator Desa
Menari Tanon)
Kalimat tersebut begitu jleb masuk ke relung
sanubariku. Sebuah kalimat yang tak semua orang mampu melakukannya. Terlintaspun
tidak. Sangat sederhana, tapi muatannya luas sekali. Merdeka, dalam pikiran dan perbuatan!
Kalimat dengan diksi sederhana dari Mas Trisno, sang
kreator Desa Menari Tanon. Orang desa yang membumi dan berjuang untuk kemajuan
desa yang jauh dari harapan. Membuatku ingat akan Festival Lereng Telomoyo,
yang telah sukses diadakan pada tanggal tanggal 12 dan 13 Oktober 2019.
Bersama rekan-rekan dari Astra, fotografer, media dan
beberapa teman blogger kami menuju Kampung Berseri Astra Tanon, Dusun
Tanon, Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Perjalanan
penuh liuk, naik turun yang membuat hati tak kalah berdebarnya. Berdebar karena
penasaran, juga jalannya yang memang lumayan muncak.
Kampung Berseri Astra (KBA) Tanon
Berada di Lereng Gunung Telomoyo, Desa Tanon bisa
dikatakan desa yang masih asri dan alami. Auranya langsung terasa, damai di
hati. Memasuki wilayahnya, langsung terlihat warganya yang ramah. Ini bukan
hanya kiasan semata, keramahan yang muncul dari hati.
Di gapura pintu masuk KBA Desa Menari Tanon Ngrawan |
Sebagaimana di desa, antar rumah masih lumayan
berjarak. Memori orang desa yang sebenarnya. Lenguhan sapi sesekali terdengar,
belum lagi tanaman yang masih dengan bebas tubuh dimana-mana. Rasa kampungnya
cess banget.
Apa itu Kampung Berseri Astra?
Kampung Berseri Astra
merupakan program Kontribusi Sosial Berkelanjutan Astra yang diimplementasikan
kepada masyarakat dengan konsep pengembangan yang mengintegrasikan 4 nilai
program, yaitu: Pendidikan,
Kewirausahaan, Lingkungan, dan Kesehatan.
Diharapkan adanya kolaborasi
ini menghasilkan wilayah yang bersih, sehat, cerdas, dan
produktif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat di wilayah
Kampung Berseri Astra.
Ibu Wiwik, dari PT. Astra
International Tbk. mengungkapkan bahwa Astra memilih beberapa desa dengan
beragam tahapan dan social mapping.
Berdasar ciri khas masing-masing dan adanya salah satu fokus yang ada di sana. Dari
sinilah penentuan Sebuah KBA. Tanon adalah salah satunya.
Festival Lereng Telomoyo #2 KBA 2019
Di Festival Lereng Telomoyo KBA Tanon 2019 |
Mengambil Tema Sumunaring
Telomoyo, Semangat dalam Mewujudkan Keseimbangan Hidup. Di samping masjid
kampung ada sebuah tempat untuk berkreasi. Di situlah Festival Lereng Telomoyo #2
Kampung Berseri Astra 2019 mulai bergeliat. Panasnya cuaca tak mengubah apapun
yang ada di sana. Tetap serius tapi santai, menyenangkan dan bikin enggan
beranjak.
Tulisan Festival Lereng Telomoyo di belakang panggung
terbentuk dari bambu-bambu yang dikreasikan dengan beberapa anyaman bambu. Di
depannya sendiri, tertulis Desa Menari. Sungguh langsung bikin kepo akut
banget.
Pembukaan diawali dengan pemukulan gong langsung disambut
tepuk tangan meriah. Tak perlu banyak ucap dan kata, karena inilah sebuah awal
dari sebuah proses yang tak mudah. Ya, sangat tak mudah.
Event ini merupakan salah satu harapan yang
benar-benar terwujud dari warga Desa Menari. Sebuah apresiasi, harapan juga
keinginan dan mimpi yang mulai terwujud. Satu per satu.
Dari pembukaan ini suguhan tak kalah menariknya dengan
beberapa tarian yang njawani banget.
Sebagai pengingat masa lampau. Yang sangat jarang ditemui. Tarian daerah,
dolanan anak-anak, juga beberapa kisah masa lalu yang telah mulai memudar.
Tari Geculan Bocah
Dalam pembukaan festival ini ada tarian yang masih
sempat bisa aku lihat. Yaitu Tari Geculan Bocah. Yang menari adalah sekelompok
anak-anak. Dengan gerakannya yang lucu dan apa adanya.
Tari Geculan Bocah |
Gabungan dari main perang-perangan, guyonan juga
dandanan yang lucu. Ada yang masih sangat kecil, lucu dan menggemaskan banget. Tarian
ini diadaptasi dari Tari Warok. Dari gerakannya yang pakem, sebagian besar
diambil dari Tarian Warok itu sendiri.
Dolanan Jaman Dulu
Yang tak kalah menariknya ditampilkan juga beberapa
dolanan jaman dulu kala. Di antaranya:
-
Sudamanda
Tahukah Kamu guys dolanan sudamanda ini faforitku
banget. Dengan menggunakan gacuk, lalu dilempar ke lantai/tanah yang telah diberi
garis dengan bentuk khusus.
-
Egrang
Permainan egrang |
Nggak asing ya dengar nama egrang ini. Terbuat dari
bambu dan ada tempat untuk kaki di bagian bawah. Dibutuhkan keseimbangan yang
sangat tepat agar nggak sampai jatuh saat menggunakan egrang. Nah, ini juga
mainanku saat kecil. Tapi nggak begitu ahli. Beberapa meter sudah langsung jatuh,
hehe.
-
Dakon
Tentunya yang perempuan suka banget maninan jadul ini.
Santai, dan bikin hepi. Iya, nggak ya nggak?
-
Lagu dolanan
tempo doeloe
Banyak banget lagu dolanan ini. Ada Cublak-Cublak Suweng, Jaranan dan masih banyak yang lainnya. Waktu di KBA Tanon, Cublak-Cublak Suweng jadi menarik karena yang main rame-rame.
Yang bikin makin menarik nih, saat kita lihat dolanan jaman
dulu ini disuguhi dengan bunyi tuk tuk tuk gitu. Eh bunyi apaan sih? Para ibu
dengan alu di tangan, mereka mulai menumbuk lesung. Bersamaan dan bergantian.
Memadukan harmoni dalam ikatan suara yang indah. Waw, bikin makin kerasan saja
di Desa Menari.
Tulisan Menginspirasi
Di beberapa titik tertentu ditemui juga beberapa tulisan
sangat inspiratif. Kerennya lagi, dalam 3 bahasa. Yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Jawa.
Kok bisa ya desa yang asri ini penuh dengan cara
mereka sendiri dan tetap mengedepankan tempo doeloe yang terus terjaga ini.
Adalah Mas Trisno. Nah, siapa Mas Trisno?
Mas
Trisno, Memulai dari yang Sederhana
"Lihatlah suatu hal dari yang sederhana, dari sudut pandang yang berbeda, lakukan dengan cara yang berbeda, nikmati prosesnya pasti hasilnya berbeda"
Pria yang terlahir di Desa Tanon, 12 Oktober 1981.
Adalah warga Desa Tanon yang memulai semuanya karena ia merasa desanya sulit
untuk maju. Banyak pemuda yang tak mau kembali lagi ke desa. Karena nggak
menjanjikan apapun. Berproses untuk memajukan desanya yang tertinggal dengan
caranya sendiri. Yang tak mudah.
Bersama Mas Trisno, Kreator Desa Menari |
Siang itu, di tengah makan siang ala warga dengan menu
yang bikin meleleh, para tamu undangan, Astra,
fotografer, rekan media, blogger dan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) bisa ngobrol
santai dengan Mas Trisno. Penerima Satu Indonesia Award di tahun 2015.
Berawal dari
200 ribu
Saat tanya jawab dengan Mas Trisno ini aku langsung
penasaran dari mana dan bagaiman memulai semuanya. Ini berat dan nggak mudah,
lho. Katanya dimulai dari depan rumahnya. Yang saat sekarang ini sudah jadi
pendopo untuk beragam keperluan warga. Ya, saat itu kami berada di sebuah
pendopo sederhana.
Sharing bersama Mas Trisno di Pendopo |
200 ribu buat apa dan untuk apa di jaman milenial ini?
Buat beli kuota sebulan bisa habis ya guys. Ternyata Mas Trisno membuatnya
menjadi lincak. Sebuah bangku sederhana untuk duduk santai. Biasanya di desa nih
adanya di teras rumah.
Dari lincak itulah obrolan bergulir dengan pemuda dan
para warga lainnya. Di tahun 2006 semua yang sederhana ini berawal. Saat aku
tanya ada yang ngeyel nggak untuk memulai hal baru dan mengajak warga, Mas?
“Prinsipnya
ajak terus mereka berkegiatan. Buktikan dengan contoh bukan dengan kata-kata.
Mulai dari yang mau dulu.” Mulai dari yang mau dulu. Kalau nggak mau ya nggak
usah di paksa. Semua orang punya hak untuk mau atau nggak mau bukan?
Lulusan pertama di kampungnya dari Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Jurusan Sosiologi ini membuat Mas Trisno berpikir maju
beberapa langkah ke depan. Dari situlah ia ingin membuat desanya yang miskin
punya cara sendiri agar tak hanya mengandalkan bantuan. Bukannya anti bantuan, dari manapun itu,
karena tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.
Merasa
bergerak sendiri di awal dan dapat dukungan keluarga nggak?
“Semua
butuh proses. Bergeraklah dengan contoh bahwa kita orang yang merdeka baik
dalam pikiran dan perbuatan.”
Wow, sebuah ungkapan sederhana, sering didengar tapi
tak mudah untuk merealisasikannya. Desa yang kebanyakan warganya sebagai petani
dan peternak ini membuat Mas Tris memulainya dari bidang yang memang warga
sudah menggelutinya. Perternakan dan pertanian.
Tak semudah membalikkan telapak tangan. Berproses
menjadi lebih baik. Mas Trisno hanya ingin memulai dan berharap warga yang ada
di desa tak keluar dari desanya untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Karena
desa mereka juga bisa diberdayakan secara maksimal.
Mendobrak yang telah ada dan didukung orang pemuda
serta warga, mulailah membuat suatu terobosan baru dengan desa wisata. Tapi apa
yang bisa ditawarkan sedangkan tak ada objek wisatanya? Sebuah kearifan lokal menjawab semuanya. Bahwa
apa yang ada di desa itu sendirilah yang akan diberdayakan.
Saat ada yang tak setuju, apa yang ada di pikiran Mas Trisno?
“Saya
punya prisip. Terus melangkah mesti dicibir. Karena kita tidak bisa memaksa
orang untuk setuju.“
Mulai dari yang sederhana saja, tarian tradisional,
kegiatan keseharian warga. Memerah sapi, dolanan anak-anak dan tak lupa juga menyediakan
homestay. Homestay di sini yang benar-benar ada warganya, hingga pada
wisatawan yang berkunjung benar-benar merasakan alaminya, berbaur langsung
dengan warga desa.
Desa yang dulunya biasa saja ini mulai bergeliat. Lama
mati suri dan tanpa adanya panggung apresiai. Gebrakan baru ini ternyata banyak
menyita ketertarikan orang luar untuk datang dan mulai tahu Desa Tanon. Supaya
bisa lebih mudah dikenal, Mas Trisno menyebutkannya dengan Desa Menari. Benar-benar nama yang
sederhana, tapi bikin penasaran banyak orang.
Kenapa
Desa Menari Tanon?
Karena menari adalah harmoni kehidupan yang
menggabungkan banyak hal. Sebuah proses menjadi lebih baik tanpa meninggalkan
kearifan lokal. Mencintai lingkungan, kesederhanaan untuk menjadi tempo doeloe
di tengah era milenial penuh modernisasi.
Dari sinilah akhirnya Astra mulai melirik
dan bertemu dengan Mas Trisno, sang kreator Desa Menari Tanon.
Sekarang ini KBA Astra Tanon makin menggigit dengan
beragam budaya dengan balutan kearifan lokal tanpa meninggalkan tempo doeloe.
Kemajuan dan hasilnya mulai terasa. Adanya beberapa pilar yang telah dirasakan
manfaatnya:
-
Pilar pendidikan non formal
Dengan rutin diadakannya diskusi. Malam tadi, saat saya
ngobrol melalui WA ternyata Mas Trisno sedang sibuk menyiapkan diskusi untuk
esok hari.
-
Pilar kesehatan dengan cara yang efetif
Yaitu kader kesehatan jemput bola ke warga. Apa yang
terjadi di masyarakat tentang masalah kesehatan ini bisa langsung diketahui.
-
Pilar usaha
Dengan diadakannya paket
wisata dan pasar rakyat. Saat festival
berlangsung, pasar rakyat juga ada, lho. Ada banyak barang yang dijual di sana.
Mulai dari minuman, beragam jenis buah-buahan serta makanan.
Harganya sangat ramah di kantung. Dilayani oleh warga kampung
yang ramah, mereka nggak segan untuk diajak ngobrol juga. Saat festival ada
pula pantomim dari Solo oleh Mas Tata, sangat menghibur karena Mas Tata langsung
berinteraksi dengan para pengunjung.
-
Pilar lingkungan
Dengan adanya 26 homestay
yang siap digunakan para wisatawan yang hendak menginap.
Itulah pilar-pilar yang sangat sistematik, tapi terealisasikan
dengan nyata hingga warga merasakan manfaatnya. Dari sini warga mulai merasakan
gotong royong dan pemberdayaan sangat dibutuhkan. Bukan hanya individu ataupun
perseorangan. Tapi karya bersama, sebuah tim yang solid.
Pilar-pilar pemberdayaan berdasarkan proses
kristalisasai yang dialami Mas Trisno juga sangat menginspirasi:
-
Seorang pemberdaya masyarakat idealnya seorang yang
secara pribadi berdaya dan mandiri, sehingga memiliki keleluasaan.
-
Mengedepankan konsep tangan di atas lebih baik
daripada tangan di bawah.
-
Berkarya lebih baik daripada meminta.
Ada pula Beasiswa Lestari dari Astra untuk 36 warga desa
menari. Ini sangat membantu. Konsep yang sangat jarang yaitu Konsep Laboratorium Sosial. Apa yang dilakukan untuk
memajukan desa tanpa menghilangkan kearifan lokal yang telah ada sejak dulu.
Desa
Menari sebuah keharmonisan dalam banyak hal. Salah satu mimpi Mas Trisno adalah
membangun perusahaan sosial berbasis kepala keluarga,
mimpi besar yang sedikit demi sedikit mulai tergarap. Meskipun dalam fase
merintis, ini akan jadi mimpi yang akan terus diperjuangkan.
Perbincangan
yang sangat mengasyikkan ya guys. Masih ada satu sajian tarian menarik lainnya
lho. Yaitu tarian Topeng Ayu/Topeng Ireng.
Tari Topeng Ayu/Topeng Ireng
Aku
dulu sempat juga latihan tariannya. Tapi, melihatnya dilakukan oleh pemuda dan
pemudi ini sungguh luar biasa. Musiknya aku suka, magis banget. Hentakannya
berirama, nggak begitu menghentak, tapi tak begitu lemah gemulai. Enak
didengar. Saat mendengarnya, kaki otomatis ikuti gerakan iramanya.
Tarian Topeng Ayu/Topeng Ireng |
Nama
lain tarian ini Tari Ndayakan yang muncul di kawasan 5 gunung di Jawa Tengah.
Topengnya berupa kreasi yang epik. Tak lupa rumpi serta krincingan di bagian
kaki. Ini lumayan berat, lho. Di Desa Menari Tanon, tarian ini di-branding
ulang menjadi Tari Topeng Ayu dari kata Toto Lengpeng Hayuning Urip.
Para penari Topeng Ayu/Topeng Ireng |
Puncak
potensi manusia adalah kreatifitas. Dengan potensi luar biasa kalau hatinya
tidak diolah ya sama saja. Akan terasa hampa. Keseimbangan sangat dibutuhkan
di sini.
Harmoni hidup |
Kalimat
luar biasa dari Mas Trisno yang bagiku mampu membuka cakrawala baru. Menebar
harmoni kehidupan, alam semesta, lingkungan, hidup, kehidupan dan jiwa:
Seorang pemberdaya adalah
orang yang berani berjalan dalam sunyi
sebagai pilihan hidup
#KitaSATUIndonesia
#IndonesiaBicaraBaik
#LFAAPA2019SEMARANG
Seneng banget ya, Mbak. Akhirnya bisa hadir di acara festival lereng telomoyo 2019. Aku paling suka dengan tari Geculan Bocah dan tari Topeng Ayu.
BalasHapusAmazing banget ya, menginspirasi banget pantang menyerah nya mas Trisno
BalasHapus