Separuh Jiwa di Sepersekian Detik
Selasa ini, dua minggu lalu.
"Mau kemana?" Tanyaku gusar.
"Kemana, aja," jawabmu kelu. Hening.
"Makan?" Tanyaku lagi.
Kuambil nafas dalam-dalam. Sangat dalam. Aku harus bilang apa?
"Suatu tempat," keluar juga jawaban ngambang itu.
"Hmmm."
Selalu seperti itu. Tak pernah ada kejelasan. Akunya yang gaje.
"Aku males kalo akhirnya...," menggantung.
Diam.
Ditariknya lenganku.
"Hei!”
Luruh, terlepas.
“Tak bisakah kita bicara empat mata?”
Kutundukkan wajah. Ini empat mata, bukan? Meski di parkiran sebuah minimarket?
“Di sini?”
Desahan nafasnya panjang dan berat. Aku tahu pertanyaan itu menyebalkan baginya. Kembali hening. Tempat parkir semakin ramai. Pikiranku kemana-mana. Kenapa pula aku sampai sini?
Diambilnya tempat duduk di pojok. Ada dua kursi di situ. Hanya untuk sekedar santai dan ngopi atau rehat sejenak. Kuikuti langkahnya.
Klek, batang rokok dinyalakan. Hembusan asap itu selalu diterpa ke mukaku. Sengaja. Kuelak, tapi tak mampu. Kudiamkan. Mungkin nyaman baginya. Tak ada obrolan lagi, kembali seperti awal.
“Ntar,” kataku akhirnya.
Wajah itu tetap kelu. Benar-benar tak nyaman. Kulangkahkan kaki ke minimarket. Mengusap seluruh pandangan ke ruangan yang lumayan ramai. Tumben, biasanya tak seramai ini. Mencari minuman ringan dan 2 batang coklat. Coklat penuh kisah. Ah, kenapa selalu itu yang kupilih? Menetralkan hati, kurasa seperti itu.
Untung kasir belum antri. Segera kubereskan urusanku, keluar ke tempat semula. Masih seperti itu. Kepulan asap, wajah kelu.
“Minum?” Kusodorkan sebotol air mineral. Diterimanya tanpa semangat. Duh, harus bagaimana? Siang makin merambat, kekeluan makin terasa. Aku bingung harus ngomong apa.
Lalu, duduk di tempat awal adalah keputusan terbaik. Minum yang tak terasa haus, juga memandang wajah kelu. Sekelu itu...
Tubuh tinggi itu beranjak. Melirik cepat. Tepat menusuk kornea mata.
“Apa?” tanyaku pelan.
Tak ada jawaban. Hanya kode aku musti mengikutinya.
“Mau kemana?”
Lagi-lagi desahan super berat yang jadi jawabannya. Baiklah. Langkah panjangnya cepat, duh....
“Hei, gimana, sih?” kataku kesal. Kuhentakkan kaki, berhenti. Bodo amat! Kadang, aku bisa kesal level akut kalau didiamkan seperti ini. Wajah kelu itu menoleh. Kembali menatapku, lebih lekat. Mendekat, lebih dekat. Digandengnya tangan kecilku. Hhhh...
Akhirnya kami berboncengan dalam kediaman yang hakiki. Kubilang hakiki karena memang benar-benar diam. Hanya angin dan deru kendaraan menemani keberduaan kami. Mau ngomong, malasnya minta ampun. Dari tadi kurasa aku ngomong sama tembok.
Kelokan, rambu jalan dan naik turun perjalanan yang menyenangkan. Sesungguhnya, andai tak ada aksi tutup mulut ini pasti aku cerewet 100 persen. Ngomong ini itu, berhenta berhenti, ambil gambar sesuka hati. Selalu ada seni tersembunyi dalam setiap perjalanan. Namun kali ini, aku tak sanggup untuk sekedar menghentikan perjalanan yang entahlah mau kemana pula akupun hanya sebatas pengikut dengan harap cemas penuh tanya.
Sampailah kami di suatu tempat. Suatu masa di saat tertentu, dua bulan yang lalu. Nafasku tercekat. Motor berhenti tepat di pojok tempat parkir. Ia turun, memandangku sepenuhnya.
“Mau coklat?” tanyaku ragu.
Diam. Menatap wajah itu, yang selalu hadir di mimpi malam, dalam doa, dalam desah nafas. Menghujam mata, aku ingin bicara. Tapi tak pernah mampu berucap. Harap itu berujung cemas, tanpa alasan jelas.
Wajahku menunduk. Tubuh mendadak menghangat. Kuangkat wajah, pelan. Kuingin kehangatan ini bertahan. Meski tak lama. Separuh jiwa di sepersekian detik. Kemudian tertata, rapi, sangat rapi. Seperti helai-helai rumput liar. Keliaran dalam kilau semesta seutuhnya. Bukan aturan manusia, tapi alam, oleh Sang Pencipta.
Kadang, kuingin skenario dua minggu kemarin terendap. Sempurna....
Baca Juga:
0 komentar:
Posting Komentar