Takluk
Ih, cowok gondrong bervespa jadul itu benar-benar bikin ilfil! Langkah kakiku tertahan di gerbang. Alih arah menuju tempat parkir di samping sekolah. Syem, musti muter daripada konangan orangnya, batinku kesal akut. Bergegas kulewati parkiran yang ramai anak-anak pulang sekolah. Celinguk kanan celinguk kiri, memang lagi apes nggak ada teman yang bisa nebengin balik kost.
Pokoknya, harus cepat sampai kost!
Keluar dari lingkup sekolah kupilih jalan samping Taman Makam Pahlawan Nasional Kusumanegara. Lanjut ke gang-gang kecil yang jutulannya tepat di kost. Tapi nafasku tertahan melihat vespanya sudah nongkrong di depan pintu gerbang kost.
Haduh! Berbeloklah langkah melewati gang cepit saking sempitnya. Gang rahasia saat pulang kost melebihi jam malam. Tapi....
“Ayuk!”
Blar!
Huh!
Langkah panjangnya mau nggak mau membuat berhenti. Kuangkat wajah, cowok berwajah tirus dengan hidung mbangir itu mendadak sudah ada di hadapan. Kaos hitam polos dan jins belel andalan membuatnya tampak sempurna ganteng. Senyumnya, bikin gadis-gadis meleleh. Itu dulu...
“Apa!” kataku ketus.
“Jutek amat, sih,” ujarnya tersenyum semanis mungkin. Ihhh...
“Aku mo tonti, buat tujuhbelasan,” sahutku cepat. Maksudku biar tuh orang cepat pergi, menjauh sana!
“Ya udah, kuanterin,” katanya santai.
Duh, salah alesan pula!
“Aku jalan bisa tauk!” kataku kesal sampai ubun-ubun.
“Pokoknya kuanterin, kayak biasa. Taktunggu depan, ya.”
Ya ampun santainya ni anak. Ngeyel!
Mulutku mengerucut kesal bukan main. Nggak tahu apa ya kalau aku sudah malas sama dia? Akhirnya aku jalan cepat masuk kost. Sedangkan tuh cowok dengan santainya ngikutin dari belakang dan duduk manis di teras kost. Wes deh nggak bisa lagi menghindar.
^^^
“Suka Affandi?” sebuah suara mengagetkan. Kutoleh asal suara.
Wuidih, senyum jantan dengan hidung bangir ngir ngir bak Bon Jovi! Rambutnya gondrong sebahu, uwuwuw! Cowok itu, kurus tinggi lebih dari 175 cm (perkiraan dan yakin bener) dengan kaos hitam polos, dipadu jaket jins, celana jins belel dan sepatu Converse, plus tas ransel Eiger nan mempesona para gadis. Nyentrik.
“Suka melukis?” tanyanya mengulang.
Lukisan abstrak Affandi di depanku seolah berganti wajah gantengnya, sebagian.
“Banget,” jawabku kikuk. Sok-sok biasalah, ntar ge er pula kalau dia tahu aku terpesona.
“Gotrex,” katanya mengulurkan tangan. Kusambut ragu.
“Ayuk.”
Matanya melirik ke seragam, tepatnya badge sekolah. Lalu mengangguk-anggukkan kepala sambil senyum simpul. Kamipun ngobrol, tentang segala seni, street art, mural, lukisan 3 dimensi dan Edgar Mueller, sang maestro lukisan jalanan 3 dimensi yang sangat kukagumi.
Lalu akrablah kami.
Yap, Museum Affandi Yogyakarta adalah awal pertemuan dengan cowok super manis nan ganteng. Saking sukanya sama dunia lukisan, aku betah melihat lukisan-lukisan Affandi yang penuh kisah. Kadang, aku bisa lama banget di sudut museum, asri dan sejuk. Dan tuh cowok dengan sabarnya bisa menemaniku ngobrolin banyak lukisan karya sang maestro.
Gimana nggak meleleh, coba?
^^^
Semua berjalan baik-baik saja ketika akhirnya Gotrex sering mampir ke kost. Kadang jemput sekolah saat nggak kuliah. Ngapelin saat malam Jum’at karena memang libur sekolah SMA hari Jum’at. Selalu ada buatku dan aku selalu ada buatnya. Mulai kenal teman-temannya, keluarganya, pergaulannya dan membuat mikir. Wajar kami saling suka, kan?
Aku tak tahu bagaimana awalnya saat Gotrex makin lama makin terobsesi. Apa-apa harus denganku, semuanya serba aku. Perhatiannya berlebihan dan bikin nggak bisa berkutik. Janjinya untuk makin membaik, hanya omong kosong. Menyebalkan.
Tak bisa lagi bebas main bersama gank-ku. Tak bisa lagi hang out bareng teman sekelas. Adanya, kami berdua, melukis, makan, main! Asik, sih, tapi makin lama nggak nyaman. Membosankan!
Saat pada akhirnya kupilih menghindar, itulah yang terjadi. Masih mencari, nggak mau melepas dan makin terobsesi. Sejujurnya, merasa salah juga secara kutahu ia benar-benar butuh seseorang yang peduli.
Aku hanya ingin bebas.
^^^
Malam itu, malam Jum’at, Gotrex main dan kutemui dengan kejutekan 100%. Bau alkohol menguar dari mulutnya.
“Aku serius, Yuk.”
Hiksss, kata-kata manis lagi.
“Tega banget kamu ninggalin gini, sih?”
Huhuhu, jadi makin merasa bersalah.
“Kamu mau aku hancur?”
Mataku melotot. Kugelengkan kepala.
“Kamu nggak berubah, Trex, janjimu bohong,” kataku tulus.
Sejutek apapun, pernah ada sayang di antara kita, kan?
“Keluarga hancur bukan berarti kamu ikut hancur. Kamu juga nggak rela kan kalo aku ikutan kayak kamu?” kutarik nafas dalam-dalam. Senyap.
“Kamu mau aku kayak kamu?” suara makin meninggi.
Gotrex menunduk, menghisap rokok sepenuh jiwa. Kemudian mendongak, asapnya tepat ke mukaku.
“Love you,” katanya singkat.
Kutekuk wajah dalam-dalam. Tubuhnya beranjak. Keluar gerbang dan masuk mobil. Kuikuti langkahnya, merasa bersalah. Kalau bawa mobil gini biasanya Gotrex mau ajakin aku keluar makan dan bikin kejutan spesial.
Ah, sudahlah....
^^^
Belum genap jam 5 pagi suara telpon masuk ke ponsel. Gotrex!
“Apa?” kataku kesal.
“Yuk, nih aku, Bian, pake hp Gotrex. Gotrek masuk rehabilitasi. Semalem ia nelan...,” katanya beruntun.
Kujatuhkan ponsel. Entah keberapa kali, inilah cara kampungan tak elegan namun jitu Gotrex membuatku luluh dan takluk!
^^^
Baca Juga:
0 komentar:
Posting Komentar