Sepotong Piza di Ramadan ke-20
Masih
pada ingat bukber enggak, Guys? Buka bersama bareng teman sekalian kopi darat
apabila lama tak jumpa. Sebelum pandemi, ada banyak acara bukber yang sudah
terjadwal di notes. Saking banyaknya
undangan, sampai bingung mana yang harus didatangi.
Setiap
Ramadan, acara buka bersama selalu menciptakan sebuah cerita. Kebanyakan
kenangan indah dan menyenangkan. Namun, ada pula kenangan yang kurang
menyenangkan dan bikin ketawa miring ketika
kenangan itu hadir lagi di bulan Ramadan. Duh, aku jadi ingat kejadian saat
Ramadan yang mengenaskan, bikin nangis sekaligus ngakak pojok kamar, hahaha.
Zaman
masih indekos, undangan buka bersama adalah rezeki yang tak bakal ditolak. Tahu
sendiri, kan, betapa anak yang indekos
membutuhkan asupan gizi seimbang?
Nah,
suatu hari, akutu diajak teman dekat
untuk berbuka bersama. Dia bilang hanya berdua, enggak ada embel-embel mengundang
yang lain. Spesial kali, ya?
Sebetulnya,
karena sudah berteman dekat serta sering makan, jajan, menonton pameran bareng,
enggak aneh kalau dia mengajak aku berbuka bersama. Namun, karena mengajaknya serius,
jadi terasa agak aneh. Kuiyakan saja ajakannya yang melipir itu.
Kami keluar setelah Asar. Karena waktu berbuka masih lama, kami berjalan-jalan dulu sambil ngabuburit. Tak lama berjalan, sampailah di tempat makan pilihannya yaitu restoran pisa. Sebetulnya, aku mau protes karena ingin makan makanan lokal saja. Namun, aku ikut saja daripada berdebat.
“Penuh,” bisikku begitu lihat tempat parkirnya penuh.
“Iya,”
jawabnya dengan santai. Dia tetap turun dari motor, melepas helmnya kemudian
membantu melepas helmku.
“Pindah
angkringan depan kehutanan aja, yuk,” ajakku.
Angkringan
itu menjadi idola anak-anak kampusku di saat Ramadan gini. Makanannya murah
meriah dan enak.
“Sini
aja, sih, sesekali. Kamu kan enggak pernah mau kuajak makan sini,” jawabnya
sambil narik tanganku.
Aku
cuma bisa sedikit melotot sambil mengikuti langkahnya.
Setelah
berada di dalam restoran, memesan menu dan lain-lain, kami asyik mengobrol di
pojokan. Menjelang azan Magrib tempat ini makin ramai. Pesanan juga belum tiba
hingga saat berbuka tiba.
“Sorry,
ya, lama,” katanya galau sendiri.
Aku
manggut-manggut sambil mengetukkan jari di meja, sebal. Coba tadi ke angkringan,
pasti kami sudah berbuka dengan suka cita.
“Mau
pindah atau enggak?” tanyaku sambil memberi permen untuk membatalkan puasa.
“Entar,
deh, nanggung,” jawabnya masih santai.
Pesanan
baru tiba jam tujuh malam. Mood-ku
sudah terjun dari puncak Merapi. Bayangkan! Salatnya jadi telat juga, kan? Ujungnya,
kami makan dalam diam. Nahan kesal akutu
….
Keluar
dari restoran dan di tempat parkir aku masih membisu.
“Mau
nonton?” tanyanya.
Kugelengkan
kepala segera.
“Ke
toko buku?”
Aku
biasanya bakal berjingkrak kalau diajak ke sana, tapi ini tetap geleng kepala.
“Ada
pameran buku di Gedung Pusat, mau lihat?”
Tetap
diam, malas.
“Muter-muter?”
Masih
diam.
“Pingin
kemana?” tanyanya sambil bersiap dan menyuruhku naik ke atas motor. Aku naik ke
atas motor tanpa menjawab pertanyaannya. Kepalanya menoleh ke belakang, lalu
membuka kaca helmnya.
“Pingin
kemana? Kuantar, deh. Jangan diem gitu, dong. Oke?” katanya sambil menepuk
lututku perlahan.
“Pulang,
deh. Aku males ke mana-mana,” sahutku kesal.
Temanku
hanya mengangguk, lalu kami meluncur
balik ke tempatku indekos.
Itulah
sepotong kisah Ramadan yang kualami 20 tahun yang lalu. Meskipun dia sudah
berada jauh di manca negara, aku selalu teringat kisah ini setiap kali Ramadan
datang. Ada rasa kangen dan doa-doa terbaik untuknya.
Bagaimana
cerita Ramadanmu, Guys?
(Ed.
Saheeda)
Baca
juga:
Ini Dia Resesp Mendoan Krispi Bikin Nagih
0 komentar:
Posting Komentar