Terkadang,
ke-viral-lan postingan media sosial menjadi pemersatu tanpa tanding. Baru-baru
ini, semua berita yang sedang populer mendadak hilang terganti dengan Piala AFF
nan luar biasa. Meskipun di final leg 1, Timnas mesti mengakui keunggulan sang rival,
Thailand 4 – 0!
Media
sosial, bagiku adalah pembelajaran literasi tanpa batas, maju bahkan mundur. Ah, apa maksudnya?
Yang
Sedang Viral
Ada 1001
maksud dalam paragraf di awal tulisan ini. Orang mampu menulis apa saja di media
sosial. Baik keluhan, curhatan, bullying bahkan rahasia yang tersimpan
rapi selama bertahun-tahun. Yang diam, dapat bersuara, dengan untaian kata,
dengan tagar tertentu.
Di FB,
mbak kae akhirnya minta maaf karena sudah komen dengan bahasa kurang
santun dan menyakiti hati seseorang. Ada lagi kisah layangan hingga Cappadocia,
masih di list utama.
Mau
sesuatu yang sedikit berbeda, dapat tengok Instagram, ada pemersatu dengan
postingan indah memanjakan mata. Tagar-tagar kemanusiaan dapat ditemui di
Twitter, beberapa di antaranya berakhir viral.
Banyak
hal positif (dan negatif) tersalurkan melalui media sosial. Berani mengungkap
fakta yang kadang, hanya jadi angan bagi beberapa orang yang terjepit problematika
kehidupan.
Literasi,
Media Sosial, JNE dan Aku
Sebagai
freelance yang menggantungkan raket eh cuan di media sosial, dari
sinilah aku mulai berjualan. Cara berjualan online orang desa versiku.
Menjajakan caption, mengobrak-abrik tulisan (ujungnya) promosi dan meramu
kepingan video agar jadi kesatuan utuh.
JNE
menjadi saksi banyak hal dalam hubunganku dengan literasi. Contoh mudahnya aku
dapat job review suatu produk yang bakal dikirim ke alamatku. JNE yang
mengusung ‘Connecting Happiness’ benar-benar tercipta. Apalagi dengan
seruan khas di bawah ini.
“Pakettt!!!”
Aku
tergopoh keluar.
“Buat?”
“Mbak
Wahyu Widya…,”
“Ahai,
saya sendiri.”
Kurir
tersenyum santuy, menggelontorkan dua bingkisan sekaligus.
“Buat
saya semua?” tanyaku heran.
“Iya.”
“Wah,
makasih,” jawabku tersenyum senang.
“Sama-sama,”
pamitnya undur diri.
Segera
masuk ke dalam, cek dulu, musti unboxing tidak, ya? Kalau tidak langsung
saja buka. Tralala, yang satu paket produk untuk review. Paket satunya lagi
berisi majalah sebagai bukti terbit saat kemarin artikelku dimuat di media.
Alhamdulillah.
Literasi
memang sesuatu yang menyenangkan, mengantarkan kebahagiaan tanpa batas.
Literasi memang asyik, mereview suatu produk di Instagram, dapat cuan. Artikel
tayang di media, dapat cuan, gimana literasi nggak asyik?
Pertanyaan
menohok yang sering muncul adalah, apakah literasimu (hanya) karena cuan?
Literasi
dan Ceritaku
“Mbaknya kerja dimana to?” tanya
seorang ibu sesama penunggu si kecil di halaman TK. Setelah obrolan tentang emak-emak
ngumpul yang kadang bikin suasana kurang nyaman.
“IRT,” jawabku singkat.
“Bukankah sarjana, lulusan kono
kae?” tanyanya dengan nada menginterogasi.
“Memangnya kenapa?”
“Sayang kan sarjana nggak kerja.” Bla
bla bla, nyinyir…
Auooo,
rasanya pingin ngunyah boto alias batu bata atau lemparin guling? Gulingnya
di rumah, haha. Untung rapalan doa komat kamit masih kudengungkan perlahan. Menyakitkan,
iya, menusuk kalbu? Sangat! Titik kemunduran dalam hidup yang kuingat sampai
detik ini.
DARI
SINILAH AKU MULAI BERGERILYA!
Awal
berliterasi bagiku adalah hobi yang sempat mati suri. Hanya karena hobi (dan
nyinyiran), tak lebih. Sepenggal percakapan di atas membuatku mulai giat
menulis. Terlintas memilih ngantor lagi, tapi rasanya tak mungkin karena aku
tak tega meninggalkan si kecil.
Literasi menjadi pilihan, termasuk menulis curhatan emak-emak yang ngurusin urusan orang
lain saat menunggu si kecil pulang sekolah. Kenapa curhatan? Karena melegakan,
ujungnya membahagiakan. Walau, tulisan tersebut hanya tersimpan di laptop (saat
itu).
Seperti
kata Kang Maman, ‘Menulislah dengan Bahagia, maka tulisanmupun akan
membahagiakan’.
Jadi,
aku benar-benar menikmati kata bahagia dan membahagiakan karena mengalami
sendiri. Ketika dipandang sebelah mata karena nganggur lalu mulai menggeliat
dengan literasi.
Akhirnya
nyinyiran dan ubo rampenya kujadikan kisah. Sebagian kutulis di artikel dan caption
yang membersamaiku untuk menelurkannya menjadi sebuah tulisan di media. Baik
itu media sosial, media online ataupun offline.
Kalau
dibilang hanya karena cuan, tidak! Jika akhirnya ada cuan yang mengikuti,
itulah proses.
Literasi
Media Sosial, Versiku
Media
sosial mampu menciptakan banyak hal kehidupan serta kebahagiaan. Termasuk
pemersatu bangsa di saat populer sebuah kisah, tagar dan sesuatu yang di share,
diberitakan secara terus menerus. Menggaungkan literasi di sana, memberi
keasyikan tersendiri.
Walau tulisanku
belum pernah viral tsahhh, media sosial memiliki banyak arti penting versiku. Dari
sana, recehan-recehan terkumpul untuk mengepulkan dapur. Walau harga minyak
goreng masih di kisaran 40 ribu, gas besar 175 ribu, telur 34 ribu/kg dan cabai
5 ribu dapat 20 biji. Apa hubungannya? Wkwkwk…Karena (katanya) tulislah yang ada
di sekeliling dan sekitarmu.
Jadi
ingat postingan Pak Floribertus Rahardi di FB (30/12/2021) menulis, naik
gunung, tinju, badminton, sepak bola semua bukan untuk mengalahkan lawan.
Semangat mengalahkan lawan hanya menjadi beban, karena perang terbesar adalah
melawan diri sendiri.
Semangat
mengalahkan nyinyiran emak-emak reseh tak ada gunanya lagi. Lebih baik mengalahkan
kemalasan diri sendiri untuk lebih maju dengan asyiknya berliterasi. Dari
literasi berita tercipta, caption tertulis, promosi produk lanjut
sehingga meningkatkan penjualan.
Literasi
viral, bisa jadi pemersatu bangsa tiada tanding. Bagaimana nggak asyik kalau menulis menciptakan hal-hal lain yang membahagiakan?
Yuk, rajin menulis biar semakin bahagia...😍
BalasHapus