Kamis, 10 November 2022

Solusi Kendali BBM Bersubsidi Tepat Sasaran dengan Etika Moral

Solusi Kendali BBM Bersubsidi Tepat Sasaran dengan Etika Moral

 

Pantas tidak pantas itu tergantung etika moral.

Kalimat di atas adalah salah satu jawaban dari pertanyaan: ‘Pantaskah kamu menggunakan BBM bersubsidi? Sudahkah tepat sasaran?



Kata-kata yang bagi diri pribadi sangat menusuk hati. So, masih pantes gitu pake BBM bersubsidi?

Perlukah tetap dipertahankan jika subsidi = bakar uang 470T/Tahun?

 

Bahaya Laten Subsidi Energi

KBR dan YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) mengadakan diskusi publik dengan tema ‘Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta’ pada  Selasa, 8 November 2022.

Diskusi Publik Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta


Mengusung tema yang masih hangat diperbincangkan, banyak hal baru yang bagi aku sendiri membuat ‘melek’ mata, hati dan nurani.

Briefing dilakukan sehari sebelumnya Senin, (7/11) yang dibuka oleh Bapak Bimo Murti dari KBR. Kemudian narasumber Bapak Tulus Abadi sebagai Ketua Pengurus Harian YLKI memberikan banyak pengetahuan baru terkait BBM (Bahan Bakar Minyak).

Baiak Tulus Abadi (Foto: Tangkapan layar diskusi publik YLKI dan KBR)


Bagaimana reformasi subsidi BBM mampu mewujudkan keadilan ekonomi dan ekologis. Dalam subsidi yang digembar-gemborkan, banyak bahaya laten yang perlu diwaspadai, antara lain:

1. Tidak Adil dan Kurang Tepat Sasaran

Pernah mengalami hal seperti ini? Saat beli BBM di SPBU, ada mobil model kekinian, keluaran tahun lumayan eh belinya pertalite. Nah, loh, tentu berasa kurang adil dan tentunya tidak tepat sasaran.

Saat mau isi bahan bakar, antrinya sudah uwow banget lebih dari 20 motor. Pas sampai jatah pengisian, dibilang kalau jadwal pertalite sudah habis. Sekarang Pertamax. Lhah! Ternyata ada jam tertentu yang bikin bengong.

2. Mengorbankan Kepentingan Jangka Panjang

Subsisi membutuhkan banyak sekali kucuran dana. Padahal kalau ditotal, biaya subsidi dapat dialihkan untuk banyak sektor pendidikan, kesehatan hingga infrastruktur.

3. Memperbesar Hutang Negara

Yaiyalah, yang namanya subsidi membutuhkan dana dan mendulang utang.

4. Tidak Adil Secara Ekologis

Di Indonesia BBM mayoritas bensin premium (RON 88) dan pertalite (RON 90). Padahal minimal kelayakan perlu RON 92 dan CN51.

Selain itu 85% produk BBM di Indonesia sendiri belum standar, minimal Euro 2. Sedangkan negara ASEAN seperti Thailand dan Vietnam dengan BBM standar Euro 4.

BBM berkontribusi paling besar mencapai 70% terhadap polusi di Indonesia khususnya kota besar seperti DKI Jakarta.

5. BBM dengan Jejak Karbon Tinggi, Memicu Perubahan Iklim Global

Produk BBM yang kurang standar memberikan jejak karbon tinggi, tentunya memicu perubahan iklim secara global. Perubahan iklim makin lama menimbulkan dampak yang memperburuk bumi tercinta ini.

Efeknya curah hujan cukup tinggi, panas yang berlebihan, gagal panen, punahnya beberapa spesies dan ozon semakin menipis. Jika dibiarkan, akan membahayakan bumi dan manusia.

Lalu bagaimana menekan penggunaan bahan bakar agar ekologis atau ramah lingkungan di DKI Jakarta?

 

Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta

DKI Jakarta menjadi kota terpolusi di dunia dengan penggunaan bahan bakar yang belum standar zero atau ramah lingkungan. Menilik Jakarta menjadi salah satu kota terpadat dan mobilitas tinggi serta pusat perekonomian negara.

Host kali ini oleh Rizal Wijaya dan moderator Maulana Isnator sebagai penyiar senior RRI membuat diskusi semakin menarik.

Pengendalian BBM sudahkah tepat sasaran?


Diskusi terbagi dalam 2 sesi perbincangan memberikan banyak masukan dari berbagai sumber. Berbagai opini, sharing dan pendapat dalam satu tujuan untuk perbaikan bumi dan subsidi agar tepat sasaran.

1. Tulus Abadi: Level Jakarta Harusnya Bahan Bakar Ramah Lingkungan

Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan akan menjadikan Jakarta sebagai kota manusiawi dari sisi ekologis. Lingkungan juga terhindar dari polusi emisi bahan bakar tidak ramah lingkungan.

Mengapa fokus di jakarta? Jakarta sebagai barometer nasional dan penggunaan kendaraan pribadi baik roda 2/4 sebanyak 35%. Jika dibandingkan Eropa bahan bakar lebih berkualitas walau berbahan fosil tapi emisi atau gas buang sangat rendah.

Meskipun di Jakarta masih menggunakan pertalite atau pertamax, tetap harus mampu menekan emisi gas buang. Meminimalisir gas buang memicu Jakarta sebagai kota yang layak ditinggali dalam konteks ekologis.

2. Luckmi Purwandari, ST.M.Si: Trend Menurun Sejak BBM Naik

Kenaikan BBM menjadikan trend penggunaan menurun sehingga kualitas lingkungan membaik diungkap Direktur Pencemaran Udara KLHK.

Jadi, kapan terjadi udara bersih dan aman paling tidak 50% saja? Untuk itu masih butuh waktu dan melihat trend beberapa bulan ke depan. Bukan hanya efisiensi BBM saja tapi standar emisi gas buang juga perlu mendapat perhatian dengan standar lebih ketat.

Kualitas udara juga dilihat dari berbagai faktor, baik meteorologi, penggunaan bahan bakar dalam hidup sehari-hari hingga topografi. Teknologi kendaraan juga sangat berpengaruh.

Untuk kendaraan tahun 2016 ke atas sudah  lebih baik dari sebelumnya sehingga gas buang tidak terlalu mencemari udara. Ada baiknya untuk pajak memperhatikan bagaimana tingkat polusi pencemaran ini, semakin mencemari lingkungan, pajak bisa ditingkatkan.

Beberapa hal bisa dilakukan penanggulangan emisi gas buang, yaitu:

·         Menggunakan kendaraan umum jika bepergian dan jika dekat berjalan kaki.

·         Melakukan uji emisi agar tahu kendaraan sudah memenuhi standar kendaraan atau tidak. Kualitas kendaraan yang baik karena emisi aman, perawatan kendaraan, teknologi dan jenis penggunaan BBM.

·         Angkutan umum lebih pasti waktunya dan terintegrasi.

·         Perlu adanya bengkel atau institusi dengan cek uji emisi harga murah. Sebagai dasar syarat membayar pajak hingga masuk parkiran.

3. Dr. Syafrin Liputo, A.T.D,MT: Optimalkan Pelayanan Angkutan Umum

Jika pelayanan angkutan umum bagus maka penggunaan transportasi pribadi dapat berkurang. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengungkapkan bila pemakaian kendaraan pribadi berkurang otomatis BBM lebih efisien.

Menggunakan angkutan umum akan dimaksimalkan dengan layanan terbaik. Trans Jakarta atau KRL memiliki kepastian waktu yang menguntungkan pengguna.

4. Ateng Aryono: Tentang Kontribusi Emisi Udara

Menurut Bapak Ateng Sebagai SPP Organda, angkutan umum dapat dikatakan hanya 10%-30% penggunaan oleh masyarakat. Sepertinya bukan sebagai kontribusi terbesar emisi udara gas buang.

Organda juga mendukung untuk subsidi BBM benar-benar harus tepat sasaran, sehingga tidak menyulitkan kalangan yang belum mampu.

Beberapa nara sumber lain yaitu Bapak Maompang Harahap, ST.,M.M sebagai Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas, Citra Dyah Prastuti selaku Redaktur KBR juga memberikan banyak opini menarik terkait pengendalian BBM.

Pada intinya subsidi kurang atau belum tepat sasaran. Masih terdapat banyak cara agar lebih tepat sasaran.

Bahkan, tahukah kamu jika besaran subsidi ini kalau dihitung secara nominal bikin uwow banget?

 

Bakar Uang 470/tahun, Subsidi Masih Harus Dipertahankan?

Ada yang menarik pada sesi kedua ketika moderator Maulana memberikan kalimat penyegar bahwa Jakarta kota macet di dunia versi Twitter.

Pertanyaan yang menggelitik, apakah BBM masih perlu subsidi? Subsidi bisa untuk hal lain loh. Lagipula integrasi ke angkutan umum juga murah, nyaman dan tepat waktu.

Pindah ke transportasi online agar  menjangkau lebih banyak tempat? Bisa menjadi pilihan menarik juga. Namun, bagaimana dengan urusan dana, lebih hemat yang mana?

Bapak Tri Yuswidjajanto sebagai Ahli Bahan Bakar dan Pembakaran Kelompok Keahlian Konversi Energi ITB memberikan ungkapan yang bikin terpana. Masalahnya jumlah subsidi ini memang banyak sekali.

Jadi, apakah BBM bersubsidi itu perlu dipertanyakan. Tahukah kamu jika subsidi membutuhkan 470 T/ tahun. Dana yang banyak sekali dan bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain.

Subsidi BBM


Bayangkan buibu, kalau melihat gambar tersebut, bayangkan!

Subsidi jika dialokasikan untuk hal lain:

·         Jalan tol sepanjang 6300 km

·         Jalan propinsi 142.500 km

·         Sekolah 41.000 buah

·         Rumah sakit tipe A 1200 buah

·         PLTU 100 MW 285 unit

·         BLT BBM 32 juta KK selama 10 tahun

Pilihan yang tidak sulit sebetulnya, jika bakar uang 570T/tahun. Efeknya bisa saja sakit-sakitan berpuluh tahun ke depan, negara tertinggal, semakin miskin, anak cucu terancam?

Atau jalan tol lintas di Indonesia,terang benderang seluruh negeri, negara maju, ekonomi tumbuh besar, lapangan kerja tersedia luas, rakyat sejahtera dan hidup sehat?

Ada baiknya jika subsidi BBM by name by address sehingga akan tepat sasaran. Melihat fenomena ini, masih layakkah jika subsidi BBM masih kurang tepat sasaran? Begitu banyak yang bisa dialokasikan dari begitu banyak dana, triliunan loh.

Pantas atau tidak pantas? Layak gitu berduit tapi belinya pertalite? Kembali ke etika moral, seberapa besar etika moral yang kita miliki?

 

Apakah Subsidi Sudah Tepat Sasaran dan Etika Moral, Ini Kata Milenial

Kerennya lagi diskusi kali ini menampilkan beberapa selebgram dan influencer yang cantik dan kece badai. Bagaimana sih subsidi BBM versi mereka, bisa cek keseruannya di bawah ini.

Subsidi BBM versi milenial


Tiffani Hernang, Selebgram: Bijak Bertransportasi

Bagi selebgram cantik ini, untuk efisiensi BBM lebih baik menggunakan transportasi umum. Lagipula secara tidak langsung Tiffani sering loh posting saat naik KRL atau yang lain sebagai salah satu sosialisasi naik transportasi umum juga nyaman.

Henry Chan, Selebgram: Belum Tepat Sasaran

Menurut selebgram kece ini BBM bersubsidi masih belum begitu tepat sasaran. Ketika naik angkutan umum akan lebih hemat finansial. Untuk busway atau KRL sudah nyaman tapi untuk angkot masih kurang nyaman.

Menurutnya kalau masih ada penggunaan subsidi kurang tepat sasaran juga aneh. Misalnya naik mobil belinya pertalite. Secara logika, mampu beli mobil masa tidak mampu beli bensin? Nah, loh!

Nadhea Tanj, Influencer: Perlunya Edukasi

Kalau dibilang tepat sasaran atau tidak bagi influencer berhijab  ini masih kurang saja. Untuk itu perlu adanya edukasi lebih optimal. Masalahnya saat BBM naik, semuanya ikut naik termasuk kebutuhan sehari-hari.

Kadang butuh perhitungan juga, kalau naik motor hanya butuh waktu seliter Pertalite, naik ojol pulang pergi 60 ribu. Jadi, lebih pilih yang penghematan secara finansial.

Ardhi Irsyad, Selebgram: Perlunya Sosialisasi

Adanya kenaikan BBM dengan subsidi tertentu harus perlu sosialisasi. Terlebih lagi integrasi dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Selain itu perlunya perbaikan transportasi umum agar lebih nyaman untuk penggunanya.

Memang penggunaan BBM bersubsidi mungkin belum tepat sasaran secara menyeluruh, tapi selebgram menggunakan Pertalite, pantas atau tidak pantas?

Jika pertanyaan itu diucapkan padamu, apa jawabannya? Heheheh, menurut Profesor Tri, pantas tidaknya tergantung etika moral. Level moral inilah yang perlu dipertanyakan.

Meskipun, akhirnya tergantung pada diri pribadi masing-masing ya, Prof?

 

5 Solusi Kendali BBM Tepat Sasaran dengan Etika Moral Sekaligus Mencegah Polusi Udara

Sebagai orang awam yang masih menggunakan pertalite, aku sendiri jadi mikir, agar tepat sasarn memang tidak mudah. Perlu by name dan by addres yang jelas agar benar-benar tepat sasaran saat seseorang membeli BBM.

Selain itu, BBM bisa dikendalikan lebih simpel karera aplikasi belum berjalan secara maksimal. Tidak semuanya pengguna android dan pro kontra membuka HP di SPBU.

Tips solusi kendali BBM dengan etika moral dan mencegah polusi


Namun, hanya banyak hal kecil yang bisa kita atau aku (khususnya) lakukan untuk pengendalian BBM agar efisien dan tepat sasaran, yaitu:

1. Beli BBM yang Sesuai

Maksudnya kalau memang naik motor keluaran tahun 2015 ya belinya Pertalite. Kalau naiknya mobil lumayan gitu, ya tahu sendirilah ya.

Sesuai standarnya masing-masing. Ini termasuk etika moral seberapa jauh pantas atau tidak pengisian Pertalite.

2. Integrasi Transportasi Pribadi ke Angkutan Umum

Mengurangi naik kendaraan pribadi, secara mau beli BBM saja antrinya kadang nggak ada kompromi. Yeah, naik transportasi umum akan lebih praktis dan hemat sepanjang pelayanan memang aman dan terjangkau angkot.

3. Jalan kaki

Seperti pesan Bu Luckmi, jalan kaki jika jarak dekat. Ada bonus plus badan sehat dan olahraga mudah murah meriah, gratis, anti polusi pula.

4. Naik Sepeda Onthel

Bagi aku pribadi naik sepeda bukan hanya untuk trend kekinian, tapi lebih untuk efisiensi finansial. Jika jalanan datar, naik sepeda menjadi pilihan dan menyehatkan tubuh dan tidak mengeluarkan karbon dioksida penyebab polusi udara.

5. Perbanyak Menanam Pohon

Emisi gas buang dari BBM yang belum standar efeknya bagi polusi sangat luar biasa. Tidak perlu muluk-muluk, mulai menanggulangi polusi dengan melakukan penanaman pohon yang simpel, di depan rumah.

Jika tidak punya halaman, menanam di pot, itu sudah sangat luar biasa. Butuh waktu dan proses, tapi swear kegiatan nyantai untuk menanam ijo-ijo berasa healing dan pikiran seger loh.

Polusi menyebabkan banyak polutan yang berbahaya. Polutan akan mengendap di dedaunan akan terserap melalui pori daun tersebut. Kemudian daun akan memfilter polutan dari udara sehingga polusi teratasi dengan baik.

Tanaman adalah pabrik penghasil oksigen karena mampu menyerap karbon dioksida dari emisi gas buang yang membahayakan. Semakin banyak tanaman, polusi udara dapat ditanggulangi dengan baik.

Tanaman hutan di dunia mampu menyerap sepertiga emisi global setiap tahunnya. Semakin banyak tanaman, polusi teratasi dan pemasok oksigen terbesar serta menjernihkan udara.

Akhirnya…

Jika belum mampu melakukan hal besar, hal sekecil apapun bisa kita lakukan. Sekali lagi kembali ke nurani sih, pantas tidak pantas itu. Etika moral yang kita miliki dan dampak ke depan.

Sayang banget kalau subsidi BBM kurang tepat sasaran, dengan buang uang begitu banyak per tahun. Iya nggak, sih? Banyak hal bisa diubah menjadi lebih baik.

Lakukan mulai dari diri sendiri dan etika moral itu memang harus ada. Meski setitik, lama-lama membukit, terbaik agar lingkungan sehat dan subsidi BBM tepat sasaran.  

 

1 komentar:

  1. Keren. Bukan hanya nyentil, tapi bener2 jleb ini tulisan. Semoga bisa jadi perhatian dari para atasan negara.

    BalasHapus