Sepersekian
Detik
Part
2
“Bapakmu yang mberesin ini,” ujarmu sambil menarik
celana jeans di kaki kanan sampai ke lutut. Aku melongo. Ada luka menghitam di
sana dan ada bagian sedikit cekung.
“Dulu, aku ki ba**ngan,” sambungnya lalu menurunkan celana seperti semula. Kuhela nafas beberapa kali ketika luka tembak itu seperti rol film yang diceritakan padaku.
Kali lain, pria dengan tinggi lebih dari 174 cm itu juga
menanyakan kesendirianku, dengan nada kikuk. Selanjutnya, mengamati jemariku dengan
detail.
“Kok kukumu panjang?”
“Kenapa emangnya?”
“Ya, nggak ubahnya cowok, biasanya sih kalau panjang
jadinya hmm… hmmm,” jawabnya tidak jelas.
“Nopo to?”
Kulihat jemariku, jempol, telunjuk dan jari tengahku
memang berkuku agak panjang. Salah?
Sudut bibir pria itu melengkung ke atas, tersenyum tak
yakin dengan ketidaktahuanku lalu menggelengkan kepala.
“Masa nggak mudeng?”
“Emang aku nggak mudeng.”
“Yo wes.”
Mataku membola sempurna, aneh!
Dan akhirnya aku baru tahu tentang kuku panjang itu,
setelah kupikir-pikir dengan seksama dan kurangkum menjadi suatu kesimpulan
jitu. Versiku sendiri.
_www_
Kumatikan rokok di asbak dengan kasar. Gila, kenangan
itu muncul begitu saja merayapi kegundahanku. Kulihat HP, pukul 2 siang, tak
ada balasan darinya. Yang ada hanya chat grup dan aku sama sekali tak berniat menengoknya.
Hanya di namamu -yang ku save dengan nama aneh itu-
aku cek sampai hampir ratusan kali, hari ini.
[Pingin apa, ntar kubawain sisan]
[Neng biasane ya]
Dua chat yang kukirim terakhir centang 2 biru, barusan,
tapi dibalaspun tidak. Settingan WA membuatku tak tahu kamu sedang online atau
tidak kecuali sedang mengetik. Ah, segitunya caramu membuatku sampai lelah
putus asa seperti ini.
Hari ini, aku ingin bertemu, setelah 4 bulan tak zonk.
Meskipun, dua kali aku melihatmu tanpa sengaja di jalan dan di tempat pesta. Berantakan,
tak terurus dan bad…
Sekali lagi, aku
menghela nafas, sangat panjang. Mengedarkan pandangan ke tempat indah
ini. Katanya tempat favoritmu, yang akhirnya menjadi tempat favoritku juga.
Dari lantai dua, sepanjang mata memandang adalah gugusan
beberapa gunung, indahnya tak terkatakan.
Seberang lain, terasiring dengan sawah menghampar
luas, jalan baru dibetonisasi dan nyiur melambai yang sampai aku hafal berapa
jumlahnya!
Habis dzuhur tadi, kudatangi tempat ini. Setelah
memarkir kendaraan di bawah tangga, di samping tembok gedung. Lalu naik ke
lantai dua dengan senyuman. Biasanya juga seperti itu meski jantung berdegup
tak karuan.
Untuk sampai ke tempat yang kupesan, melewati pagar berbahan
besi dengan ukiran sangat khas. Untunglah mendapatkan meja di pojok, tempat
favoritmu. Meja bulat coklat kayu dan dua kursi yang menyapa, hening.
Teh pesanan sebentar kemudian datang. Menunggu, menunggu
dan menunggu. Akhirnya habis tanpa sisa, makanan tak tersentuh sedikitpun. Nyatanya
sampai 4 jam tak ada satupun pesan masuk, darimu.
[Tatunggu or nggak mau?] Kuketik pesan sekaligus
menahan diri.
Kupikir aku akan menelponmu, atau video call, agar kamu
tahu aku benar-benar di tempat biasanya. Nyatanya, aku tak punya cukup nyali
untuk itu.
Harusnya hari ini menjadi harimu bukan? Kuharap begitu
juga seperti pesan tengah malam itu. Kuharap? Ah, itu hanya pikiranku saja. Aku
tersenyum, getir. Merutuki kebodohanku.
Senja menjelang, dingin menyergap. Lelah, berdiri menatap
jendela tempat dulu, kamu pernah melukis dua wajah di sana.
[Lagi dimana?]
Pesanku, yang baru sepersekian detik terkirim, lalu kuhapus.
Baca juga:
#Sepersekiandetik
*Sening pahing
0 komentar:
Posting Komentar