Kisah Nyata:
Serbuan Kawanan Tawon Gung di Puncak Gunung Nglanggeran,
Cek Cara Mengatasinya
Kisah ini merupakan true story dan memberi pengalaman luar
biasa. Ada kengerian, ketakutan, kepanikan sekaligus memberi pesan bahwa alam
tidak bisa diprediksi.
Tulisan lanjutan dari kisah sebelumnya pendakian Gunung Nglanggeran.
Akhirnya karena suara jejeritan semakin membahana, Mas
Condro meninggalkan tas dan HP lalu bersama Coco lari mendekat ke puncak
berniat memberi pertolongan.
Dari tempatku berdiri sekitar 30 meteran dari puncak,
kulihat mas Dodo turun dari tangga sambil minta tolong.
Kepanikan melanda, ditimpali suara Mbak Chusnul, Mita
dan Miska yang tak karuan menjeritnya.
Saat itu Mas Jemex, Nyonya dan Mas Budi sedang
melihat-lihat suasana sekitar agak jauh dari tempatku berdiri. Terdapat gazebo
di situ dan entahlah pokoknya pas kejadian, ketiganya sudah tak terlihat dari
pantauan mataku.
Sedangkan aku, Mbak Erna dan bocil berdiri mematung
bingung.
“Menjauh, menjauh, berpencar!” Di antara teriakan
minta tolong, Mas Dodo teriak ke kami supaya menjauh.
Menjauh
dan Berpencar
Sedangkan Coco berlari mendekat sambil teriak.
“Menjauh, menjauh, Ayu pake mantel, semua yang bawa
mantel, pake!” Teriaknya sambil membuka tas ransel dan melempar beberapa mantel
ke arahku dan Mbak Erna yang masih bingung bin bengong.
Menggigil, kukeluarkan mantel dari tas dan memakainya
tak karuan, entah mana kepala, mana tangan, pokoknya menutup tubuh.
“Cil, pakai mantel, cepat, menjauh, berpencar!” Teriakku
ke bocil yang juga bingung padahal aku sendiri nggak tahu sebenarnya ada apa
sih kok disuruh pakai mantel dan menjauh.
Mbak Erna juga gegas memakai mantel, dan next baru
cerita kalau yang dipakai mantel celana doang, buat nutupin kepalanya. Soalnya
ambil sembarangan langsung pakai.
Aku dan bocil duduk agak jauhan tapi bocil masih
terlihat dari pantauan mataku. Kami berdua pakai mantel tipis seharga 8000-an
sehingga dari dalam mantel aku bisa lihat sekeliling.
Tubuhku setengah duduk, setengah mau rebahan, jadi
nahan tubuh ini susahnya minta ampun.
“Menjauh, berpencar, menjauh, pake mantel, tutup muka,
lindungi muka!”
Teriakan mas Dodo dan Coco memberi instruksi
bergantian dan terus menerus. Suara lari-larian jejeritan gilak bikin aku makin
panik.
NGUNG,
NGUNG NGUNG! Tawon Gung Menyerang
Innalillahi, tawon! Barulah aku sadar kalau ada tawon
menyerang. Jumlahnya nggak tanggung-tanggung, ribuan! Buanyaknya, sampai
telingaku seolah berdenging.
Datangnya tawon, dan next kutahu jenis tawonnya
adalah tawon gung. Seiring datangnya seseorang berlarian sambil menjerit.
Ternyata Mita lari melingkar nggak karuan melewati aku
dan bocil sambil menghindar tawon yang menyerang tubuh, terutama muka. Padahal
di depan bocil itu lereng, agak curam, aku hanya bisa berdoa.
NGUNG NGUNG NGUNG…
Suara dengungan semakin keras, aku semakin meringkuk
terdiam di dalam mantel yang kecil.
“Diam, jangan gerak. Mita tenang, mikir cara ngatasin
Mita, tengkurap, tenang, lindungin muka!” Teriakan mas Dodo di antara dengungan
tawon yang luar biasa keras saking banyaknya.
Di luar itu masih banyak teriakan yang entahlah aku hanya
berdoa, dengungan tawon yang luar tambah bikin kalut.
Saat Mita lari menjauh dengungan sekitarku berkurang.
“Mbak,” suara Mbak Erna terdengar dari belakang.
“Iya,” sahutku.
“Ibuk, masuk satu!” kudengar bocil teriak sambil
menggerakkan seluruh tubuhnya. Hah?
“Diam, diam, tenang!” teriakku panik. “Banyakin doa.” Huhuhu…
NGUNG NGUNG NGUNG!
Aku semakin mengeratkan mantel, tubuh nekuk tak
karuan, mau tengkurap tak bisa.
Bikin Api
Suasana masih panik ketika kudengar suara Mas Dodo dan
Coco saling bersahutan entah di luar sana.
“Asap, kita bikin asap, api, perapian, ranting.”
“Kumpulin daun, korek, cepetan.”
Mulailah kesibukan di luar sana. Next diceritain Coco
sempat pake mantel jadi aman dari serangan dan nyalain api sambil tengkurap. Di
bawah Mas Dodo tengkurap juga mencoba menghalau serangan tawon yang nggak ada habisnya.
Untunglah hari itu terang benderang dan banyak dedaunan
kering sehingga tak berapa lama, asap mengepul.
Suara berdengung melambat.
“Mita, Miska, mendekat ke api!”
“Ayu, aman?”
“Aman,” sahutku.
“Mbak Erna?”
“Aman,” jawab Mbak Erna.
“Bocil?”
“Aman!” jawab bocil.
“Hazel?”
“Aman,” jawab Hazel berasa jauh entah dimana dia.
“Condro?” Hening.
Setiap gerak sedikit, suara dengungan mendekat. Jadi
takut, akhirnya aku pilih anteng.
“Mbak, Mas Condro dimana?” Tanyaku dari dalam mantel.
“Ora reti, mbak, mau nulungi bojone Mas Dodo, mbuh
saiki neng ndi. HP tas iki tak krukup,” jawab Mbak Erna.
Aku hanya mikir, ini harus ada yang minta tolong ke bawah
soalnya kita lagi di puncak, hanya mikir doang sih, huhuhu. Sedikit saja salah
strategi, tawon bisa menyerang lagi. Entah dimana keberadaan Mas Jemex,
nyonyae, Mas Budi dan Mas Condro.
Mas Condro ini yang tadi kulihat langsung nolong Mbak
Chusnul.
Ketakutan merajam, tapi suara dengungan semakin
berkurang. Teriakan Mbak Chusnul, Mita dan Miska juga sudah tak terdengar.
Angin begitu keras datang menggoncangkan ranting dan
daun jatuh kena mantelku. Aku hanya bernafas panjang dan tambahin doa.
Padahal, di puncak hanya ada rombongan kami. Tadi
tidak ketemu pendaki lain soalnya sudah pada turun duluan.
Suasana hening, hanya terdengar suara kecil Mas Dodo
dan Coco. Entah berapa lama kami terdiam, nggak berani bergerak sedikitpun.
“Nanti ada ibu-ibu bawa salep, lagi lari ke atas,”
teriak mas dodo. Mungkin sudah bisa buka HP atau gimana.
Menunggu dalam kepanikan dan ketakutan memang sama
sekali tidak mengenakkan. Namun, apalah daya?
Seorang
Ibu, Salep dan Pertolongan Awal
Akhirnya, datang suara orang lari. Terdengar suara seorang
ibu dengan nafas terengah.
“Mana yang kena, Mas, Mbak, yang mana?” Teriaknya sambil mendekat ke api. Pas datang nolong sangat safety dengan mantel krukup dan hanya terlihat matanya doang, inipun aku diceritain kemudian.
“Mbaknya kena banyak sekali, pake salep ini, Mbak,
Mas, masnya pake, itu mata bibir kena semua,” katanya.
Alhamdulillah, ada penolong datang, batinku tapi masih
anteng. Cuma mbatin, kok ibu-ibu, seorang diri pula?
“Ada yang bawa HP nggak aku hubungi bawah,” suara ibu
itu kembali terdengar.
Mbak Erna kasih HP masih dengan krukupan dan ngasih ke
ibu tersebut, tapi tak ada sinyal dan pulsa habis.
Duh, aku jadi bingung, sinyal memang kadang penuh
kadang nggak. Suasana masih hening dan entah apa yang terjadi di luar sana.
Pertolongan
Tim Nglanggeran, Gercep
Tiba-tiba muncul suara gedebak gedebuk orang
berlarian.
“Mana yang kena? Maaf saya semprot, maaf,” kata masnya sangat sopan dan cepat.
Lalu, suara langkah-langkah lain berlarian mendekat.
Mulai menyemprot kami dengan Baygon atau sejenisnya. Satu persatu mulai dari
mantel yang kupakai, tak ada yang terlewat. Huhuhu, aku pingin nangis, bahagia
akhirnya ada yang datang nolongin.
“Mas, saya udah aman nih keluar mantel?” tanyaku.
“Insyaallah aman, Mbak,” jawab si mas sambil bantu
melepaskan mantel.
“Beneran?” Duh, masih panik dakuw.
“Insyaallah, Mbak, buka saja, pelan-pelan.”
Aku membuka pelan, setiap aku buka mantel, masnya
langsung nyemprot hingga seluruh tubuh.
Tujuan utama ke bocil, ya Allah, alhamdulillah nggak
kenapa-kenapa.
“Tawonnya nggigit?” tanyaku memeluknya yang dijawab
gelengan kepala dan disemprot seluruh tubuh.
Kulihat Mbak Erna dan yang lain juga disemprot. Ada
penolong dari pihak pengelola datang dengan sat set, gercep dan cekatan.
Menolong kami yang diserang kawanan tawon gung.
Tim pengelola Gunung Nglanggeran sekaligus yang nolong
kami ini pakai seragam kembaran.
Semua ngumpul jadi satu. Aku, bocil, Mbak Erna, Mbak
Chusnul, Mita, Miska, Hazel, Mas Dodo dan Coco.
“Masih ada lagi nggak?”
“Lengkap,” jawab kami hampir bersamaan. Alhamdulillah.
“Ini langsung turun?” tanyaku masih takut ada serangan
lagi.
“Kuat, kan?”
“Iya mas, tapi pelan, ya, dengkulku pernah cidera,”
sahutku.
“Nggak papa, Mbak, nanti sama saya,” kata mas penolong
dengan sabar.
Alhamdulillah.
Evakuasi
Akhirnya semua lanjut langsung turun ke bawah.
Untunglah, kita masih kuat jalan dan tidak ada yang sampai pingsan. Tim
penolong juga langsung datang berbondong-bondong tentunya sambil
terengah-engah, lha wong lari dari bawah.
Ya Allah, padahal jauh dan medannya juga nggak mudah
loh, sambil bawa ranting dan semprotan untuk mengantisipasi hal yang tidak
diinginkan.
Kulihat Mas Dodo dan Mbak Chusnul yang paling parah
bentol semua wajahnya kena sengatan tawon. Pas jalan turun ini Mas Dodo
berkali-kali minta minum, haus banget katanya.
Kita dievakuasi langsung turun ke bawah didampingi
relawan sekaligus tim pengelola. Entahlah berapa jumlahnya, tiap titik tertentu
sudah ada yang siaga siap menolong. Maturnuwun ya teman-teman.
Sampai di titik berapa lupa, Mas Budi sama adik kecil
gabung. Anak kecil ini anak seorang ibu yang lari ke atas kasih bantuan pertolongan
awal kasih salep ke teman-temanku. Ya Allah, heroik banget!
Sedangkan anaknya dititipkan Mas Budi, yang rencana mau
turun minta bantuan ke bawah. Maturnuwun ibu…
Lanjut jalan lagi ketemu Mas Jemex yang mau ikutan
naik lagi sudah bawa ranting lengkap di tangan. Pelari yang satu ini memang
deh, nggak ada capeknya.
Kampung
Pitu, Kampung yang Hanya Dihuni 7 Keluarga
Evakuasi berjalan lancar sampai akhirnya kami tiba di bawah
yaitu Kampung Pitu sekitar pukul 2 siang. Di sini langsung disambut pihak
pengelola dan seorang bapak pemilik rumah yang sudah menyediakan teh panas
untuk rombongan.
Tawon gung, yang nyasar di mantel Mbak Erna, sampai kebawa pulang (Foto by Erna/Condro) |
Di rumah warga inilah barulah ketemu sama Mas Condro
yang sudah parah wajahnya dan nyonyae Mas Jemex yang aman tak terkena sengatan
sama sekali (tapi ternyata kena sengatan 1 tawon).
Kronologi dari Mas Jemex, nggak sempat ngobrol lama soalnya orangnya keburu balik |
Cerita Mas Condro, dia nolong Mbak Chusnul yang
dirubung ribuan tawon menggunakan ranting bagian ujungnya ada dedaunan. Saat nolong
malah tawon langsung menyerang dia, larilah dia ke bawah.
Cerita Mas Jemex |
Sedangkan Mbak Chusnul, saking banyaknya tawon
merubung, bisanya teriak dan nggak bisa lari ke bawah. Agar aman tidak
tersesat, ya di situ sambil mencoba menghalau tawon yang semakin lama tambah
banyak.
Balik ke Mas Condro, sepanjang jalanan, dirubung
tawon, sampai masuk ke dedaunan pohon jambu mete, dan pepohonan apa lagi gitu
sepanjang jalan. Setiap ada orang, teriak agar turun minta tolong ke bawah
bilang teman-temannya di puncak diserbu tawon.
Sampai nggak ngeh kalau dia minta tolongnya sama Mas
Budi, Mas Jemex dan istri, karena dirubung tawon (yang sedang lari ke bawah mau
minta bantuan).
Hingga akhirnya ketemu tim penolong dan disemprot. Eh,
sampai bawah, masih saja ada tawon yang ngikutin loh.
Untunglah ada pendaki lain yang tahu kalau rombonganku
diserang tawon, ngabari pihak pengelola. Akhirnya kita cepat dapat bantuan dan pertolongan.
Tim pengelola juga sudah menyediakan kendaraan untuk
yang terkena serangan tawon diminta menuju klinik agar ditangani dan diobati lebih
lanjut. Istirahat tak begitu lama, yang tersengat tawon paling parah, Mas Dodo,
Mas Condro, Mbak Cusnul, Mita dan Miska langsung menuju klinik.
Tersengatnya nggak cuma satu dua tapi ratusan ya
seluruh tubuh guys. Paling banyak bagian muka dan tangan.
Sedangkan kami masih istirahat di Kampung Pitu yang
penuh kisah juga lhoh dusunnya. Pitu adalah bahasa Jawa yang artinya tujuh.
Kampung ini hanya dihuni 7 keluarga dan memang
istimewa sekali. Banyak kisah dibaliknya yang memang menarik untuk disimak.
Akhirnya kita balik ke basecamp dan sore hari nyusul
ke klinik. Mas Condro lumayan lemas dan muntah beberapa kali. Sedangkan Mas Dodo,
Mbak Chusnul, Mita dan Miska aman, mereka balik ke basecamp.
Aku nungguin di klinik bersama bocil, Mas Budi dan Coco.
Sedangkan Mas Jemex dan istri otw balik Muntilan karena ada acara lain.
Karena semakin lemas, Mas Condro akhirnya diinfus dan alhamdulillah semakin membaik.
Dan, ternyata Mas Dodo cs ini di basement mulai muntah
dan ke belakang berkalai-kali. Akhirnya balik lagi ke klinik diantar sama tim
pengelola dan dikasih obat serta infus supaya tidak lemas.
Pihak
Pengelola Gunung Nglanggeran yang Sat Set, Maturnuwun
Menjelang tengah malam, semua berangsur membaik. Tim
atau pihak pengelola Gunung Nglanggeran benar-benar peduli sekali dengan
rombongan pendakian kami.
Semuanya dilayani dengan sangat baik dan ditunggui
untuk memastikan kami mendapatkan penanganan terbaik, salut!
Semua berjaga-jaga bergantian, sangat sat set kalau
ada apa-apa langsung siap sedia membantu. Makasih ya orang-orang baik pihak
pengelola dan tim dari Gunung Ngglanggeran. Angkat topi buat panjenengan semua,
maturnuwun sanget!
Selain itu, datang pula Om Hargo dan Om Lilik anak
mapala juga yang sigap membantu keperluan kami di klinik. Om Harga langsung
mencarikan degan atau kelapa muda di kebunnya, menek sendiri pula dan dibladogi
Om Lilik.
Makasih Om Hargo dan Om Lilik, makasih banget.
Ya, begitulah kisahnya, dan berakhir bukan ngecamp di
Pantai Siung tetapi di klinik, hihihi. Tenda, makanan dan logistik hanya
dibawa-bawa doang.
Alhamdulillah, pagi hari semua sudah sehat dan kita
otw ke tempat Om Hargo. Pindah ngecamp di sana.
Misteri
Elang Jawa
Dibalik kisah serbuan tawon gung, ada misteri elang
jawa. Jadi Nyonya Jemex ini saat menjauh dari rombongan (sesaat sebelum
serangan) melihat burung besar yang bagus sekali melintas, mau difoto katanya
tapi tidak jadi.
Elang jawa atau biasa disebut dengan bido. Nah,
biasanya kemunculan elang untuk mengacak-acak atau mengganggu rumah tawon.
Tawon marah dong, sedangkan elang melarikan diri
melintas para pendaki. Tawon akhirnya menyerang yang dilintasi burung elang
arah para pendaki. Ndilalah rombonganku yang terkena serangan.
Tersengat
Tawon Gung, Ini yang Dirasakan
Tawon gung memiliki sifat pendendam. Jika sudah
menyengat orang, maka akan terus dikejar. Ini kayak Mas Condro yang dikejar
terus sampai bawah, sampai akhirnya disemprot Baygon.
Tawon gung panjangnya kurang dari 2 cm (Foto by Mbak Erna) |
Adapun yang dirasakan saat disengat tawon gung dari
cerita teman-teman antara lain:
1. Nyeri
dan Panas
Bagian tubuh yang terkena sengatan terasa nyeri dan
panas.
2. Haus
Tiada Tara
Sesaat setelah disengat, rasa haus tiada tara.
Pokoknya tenggorokan terasa sangat kering dan pingin minum terus.
3.
Bentol-Bentol dan bengkak
Kemudian muncul bentol-bentol. Selain bentol bisa juga
bengkak dan ada gatalnya dikit.
4. Mual
dan Muntah
Perut mulai tak nyaman dan kadang muncul mual. Mual
yang tak tertahankan akhirnya muntah.
5. Diare
Perut yang masih terasa kurang nyaman berujung diare.
Itulah yang dirasakan seperti yang terjadi sama
teman-temanku.
Mengatasi Serangan Tawon Gung di Puncak
Jika membaca dengan runut tulisanku ini mungkin sudah
bisa menyimpulkan saat terkena serangan tawon. Ini yang bisa dilakukan saat di
puncak gunung:
1.
Berpencar dan Menjauh
Usahakan berpencar dan saling menjauh supaya tidak terserang semuanya
karena kalau kamu nolong temanmu dengan alat seadanya malah ganti diserang.
2.
Membuat Api
Tawon takut api dan asap, maka dari itu usahakan membuat
api dengan kertas, ranting atau dedaunan kering.
3.
Memakai Mantel
Yang namanya naik gunung tentu perlengkapan lengkap
dan mantel adalah pelindung saat hujan atau dingin. Mantel segera dikenakan
untuk melindungi tubuh.
4. Tenang
dan Cari Bantuan
Dan, intinya tetap tenang, bisa berpikir jernih dan
tentu saja cari pertolongan karena sulit untuk menolong teman yang lainnya.
5. Berdoa
Apapun yang terjadi, Allah adalah sebaik-baiknya
penolong. Jadi sepanjang kejadian aku hanya bisa berdoa semoga tawon pergi dan
bantuan datang.
Sudah banyak banget tulisanku, 2300 kata lebih. Eh,
yang mau nambah bisa tulis di kolom komentar, ya. Itu hanya berdasar kejadian
saja.
Sekian dulu kisahnya. Semoga dapat memberi wawasan dan
pembelajaran. And... next time dapat mendaki dan berpetualang lagi ke Gunung
Nglanggeran.
Sehat-sehat buat teman-teman semua dan Tim Nglanggeran.
Salam!
Bahwa manusia hanya merencanakan dan penentunya adalah Sang Pencipta. Banyak orang-orang baik yang menyertai, maturnuwun, maturnuwun dan maturnuwun…
Baca Juga:
Pendakian Bantir Hills, Sumowono
Di Puncak I'mpelgading Homeland
Ayunan Langit Gumuk Reco Sepakung
CerZing : Cerita Amazing 🇲🇨 Yezz You
BalasHapusTak terlupakan,kayak di film kartun dioyak tawon
BalasHapusSharing pengalaman yang berguna bang
BalasHapusSemogga penulis dan yg lainya sudah pulih seperti sedia kala
Silahkan berkunjung kembali bang
Ya Allah bacanya sampai deg degan. Mungkin kalau saya ikut, saya bakal nangis ga tau harus gimana. Alhamdulilah semua akhirnya aman yang mbak, kadang ngga tau kalau ada hal hal serupa. Jadi klo muncak bawa baygon, salep juga perlu yaa..
BalasHapusSerem banget ya kalau tersengat. Ga kebayang deh kalau kena banyak
BalasHapusMasyaAllah mbaaa....aku bacanya sambil ikut deg2an. Duh ..sungguh pengalaman yg mengerikan (menurutku).. hiks...
BalasHapusSubhanallah mbaaa, almarhum bapakku pernah disengat tawon di kepala sampe gliyengan dan dibawa ke puskesmas karena rasanya sakit sekali katanya. Dan katanya disengat tawon itu bisa menyebabkan orang yang disengat bisa meninggal ya
BalasHapusKok jadi deg-degan ya baca postingan ini. Tawonnya sampai ada yang terbawa pulang. Aku lihat satu tawon aja takut, Mbak.
BalasHapusKok jadi deg-degan ya baca postingan ini. Tawonnya sampai ada yang terbawa pulang. Aku lihat satu tawon aja takut, Mbak.
BalasHapusKesian sekali sih Mas Condro sampai dihajar tawon gung gitu hiks... gimanaaa itu rasanya ya muka dan tubuh sampai tersengat ratusan tawon. Gara2 si elang nih yang ngacak2 sarang tawon, malah pendaki yang kena akibatnya.
BalasHapusYang aku kira 'sepele' karena dirumah ibuku juga banyak tawon, ternyata mengerikan juga. Bacanya sambil miris miris perih gitu, mana kebawa lagi. Ternyata emang bener ada kejadian yg separah itu ya.
BalasHapusMbaaa gede banget tawonnya, ngeri ya yang mau ke sana jadi dredeg kih dan kudu siap amunisi yang aman.
BalasHapusYa Allah, seram banget bacanya Alhamdulillah selamat ya mba dan warga desanya juga baik banget menolong dengan sigap
BalasHapus