Keinginanku teramat sederhana, Ibu mau menemaniku tidur
saat malam tiba. Walau itu hanya sesaat.
Cup, cup, cup, 3 kali kecupan ibu mendarat di kening. Kuacuhkan
tontonan di televisi. Seperti biasa, aku ganti memeluk dan mencium pipi ibu.
Parfum yang menyengat seketika memenuhi hidung.
Uhuk, uhuk, sampai terbatuk saking wanginya, tak tahan. Harum,
sih, tapi keterlaluan harumnya. Walau seringkali membaui, selalu saja aku
terbatuk karenanya.
“Ah, kau Ara. Tak suka parfun Ibu?”
Tak begitu kuhiraukan pertanyaan ibu.
“Ara tidur sendiri lagi?” tanyaku sendu. Lama sekali tak dikeloni ibu. Tiap malam, ibu selalu pergi kerja.
“Hmmm, belum bisa malam ini,” jawab ibu singkat. “Belajar baik-baik, ya,” katanya lagi.
Ingin merengek, tapi kuurungkan. Akhirnya hanya mengangguk.
Meski, nafasku tertahan. Rasanya ingin menangis hampir setiap malam ditinggal
sendiri.
“A... aku ingin tidur sama ibu,” kataku pelan. Akhirnya.
Pandangan ibu ke arahku.
“Kapan-kapan. Ara sudah besar, hampir 11 tahun.”
“Tapi, Bu....” Ngeyel, sesekali tak apa, kan?
“Ibu harus kerja, Ara,” suara ibu tandas. Kutundukkan
kepala dalam-dalam.
“Malu kan masih tidur ditemani Ibu terus?” kata ibu. “Toh
nanti kalau pulang Ibu juga tidur bareng Ara.”
Iya,
tapi nanti, saat subuh hampir datang. Saat aku sudah mau bangun.
Ibu selalu begitu, menganggapku sudah besar. Lalu, kapan
ibu mau menemaniku tidur barang sesaat saja? Kuikuti langkah ibu. Melihat ibu
mengambil tas mungilnya, membetulkan kaos warna pink dan rok panjang jins yang
dipakainya. Panjang, tapi belahannya sampai atas, aku menghela nafas panjang.
Bahkan teramat panjang.
Kata
bu guru ngaji di musholla, perempuan kalau pakai baju harus menutup aurat.
Mungkin ibu tak sempat menyeterika rok ataupun celana panjang lainnya, batinku.
“Jangan lupa kunci pintu.” Ibu menoleh sebelum menutup
pintu. Pesan yang sudah kuhapal. Kost kecil yang hanya kutempati bersama ibu.
Yang telah menemani kesendirianku di tahun-tahun belakangan ini, setiap malam.
Ada 4 kamar kost lain. Penghuninya begitu ramah padaku, orang-orang
dewasa. Terlampau dewasa untuk menjadi teman main. Kadang, aku tak mengerti apa
yang mereka bicarakan. Bahkan, apa yang mereka lakukan.
Di halaman kost yang tak begitu luas, sudah menunggu
seseorang. Teman lelaki ibu. Ibu pergi setelah menutup pintu. Cepat-cepat aku
beranjak ke gorden ruang tamu yang sekalian kugunakan sebagai tempat belajar
dan bermain. Melongokkan kepala sambil membuka sedikit gorden. Penerangan lampu
di depan amat terang, aku bisa melihat di luar dengan jelas. Di sana, terparkir
mobil warna putih. Kelihatannya mobil mahal seperti kalau kulihat iklannya di
televisi.
Seorang lelaki perlente bersandar di samping pintu mobil.
Menyambut ibu dengan senyuman mengembang. Kecupan kecil mendarat di pipi ibu.
Cipika dan cipiki, aku biasa melihatnya. Lalu ibu digandengnya. Aku terpekik.
Meskipun banyak teman ibu main dan sering melihatnya, aku selalu saja tak rela
melihatnya. Rasanya ingin keluar, teman ibu begitu kurang ajar. Tapi,
kuurungkan niatku.
Kata
orang-orang, itulah dunia malam. Katanya. Apa itu? Aku hanya samar-samar
mengerti. Untuk tak mengerti sama sekali. Memang aku belum mengerti.
Setelah ibu dan lelaki itu masuk, mobil warna putih itu
segera meluncur meninggalkan keherananku. Ah, ibu, kenapa hanya karena ingin
pergi main aku tak pernah ditemani saat malam tiba?
Rasanya,
sudah lama sekali tak tidur ditemani ibu ketika malam menerjang.
Seperti senja menjelang malam ini. Ba’da maghrib ibu
biasanya sudah rapi dan cantik sekali. Lalu, ibu akan pergi begitu saja
meninggalku, di tempat kost sendirian. Meskipun tempat kost ini ada 5 kamar
lain dan langsung terhubung ke halaman, tetap saja aku hanya ingin bersama ibu.
Sebetulnya tak begitu masalah buatku, walaupun ditinggal
ibu sendiri. Tante-tante yang kost di samping kamar baik semuanya. Mereka
selalu ada untukku, tapi tak mungkin kan mereka menemaniku tidur? Mereka sudah punya
keluarga sendiri. Ada juga yang setiap malam pergi seperti ibu. Katanya,
kerjaannya sama seperti ibu.
Tak terasa, mataku basah. Kututup gorden. Saat hendak
mengunci pintu seperti pesan ibu, ada ketukan halus.
“Ara.”
Suara Tante Mona, yang tempat kostnya persis di samping.
Kembali kubuka gorden. Benar, ada Tante Mona di depan pintu.
“Ara,” suara Tante Mona lagi.
“Ya, Tante,” kujawab sambil cepat mengusap luh yang keluar tanpa terasa. Kubuka handle pintu dan tepat dihadapanku senyum
Tante Mona mengembang. Aroma makanan khas nan lezat membuat senyumku ikut
mengembang. Tangannya menyodorkan sekotak kecil makanan.
“Nih, buatmu,” kata Tante Mona yang langsung kuterima
dengan senang hati.
“Ma... makasih, Tante,” jawabku senang.
“Ibumu pergi?” Tante Mona bertanya basa basi. Pasti tahu
kalau tadi ibu pergi bersama seorang lelaki. Kuanggukkan kepala.
“Barusan,” jawabku cepat.
“Ya udah, makan aja martabaknya. Tante mau pergi juga.
Tuh udah ditunggu.” Tante Mona menunjuk motor yang diparkir persis di depan
kamarnya. Aku hanya manggut-manggut. Kuucapkan terima kasih sekali lagi
padanya.
Begitu Tante Mona berlalu pintu langsung kututup dan
kukunci. Biasanya aku akan melepaskan kunci dari tempatnya. Menaruhnya di bawah
taplak meja. Supaya nanti saat pulang subuh ataupun dini hari ibu tak perlu
membangunkanku. Karena ibu memiliki kunci duplikat. Begitulah pesan ibu selalu.
Karena sering ditinggalkannya hampir setiap malam.
Sudahlah, aku ingin sekali makan martabak lezat dulu.
Sayang, hasrat makanku terkubur tiba-tiba saat ingat ibu. Kulanjutkan menangis,
di hadapan martabak yang menggiurkan itu. Ingin rasanya, tapi rasa lapar telah
menguap.
Kuharap
malam ini ibu pulang lebih awal dari biasanya.
^^^
Mutiara namaku, ibu lebih sering memanggilku Ara.
Begitupun teman-teman ibu dan teman-temanku. Hidupku hanya bersama ibu. Tak
pernah kenal kata ayah atau bapak. Ibu selalu bilang ayah pergi ketika aku
bayi. Mungkin sekarang telah meninggal. Aku hanya mengiyakan. Setiap kubertanya
lebih panjang, ibu akan mengalihkan topik pembicaraan.
Berdua kami tinggal di kota kecil penuh tempat wisata.
Apabila hari libur ataupun Sabtu dan Minggu, jalanan selalu macet parah. Banyak
tempat kuliner, wisata hingga hotel kecil dan berbintang. Pokoknya, kota
kecilku ini sangat menarik bagi banyak orang dari luar daerah. Tempatnya sejuk
dengan pemandangan menawan hati.
Seringkali aku tak paham dan bingung dengan apa yang
terjadi. Mungkin, karena usiaku yang masih kecil. Ibu kerjanya malam hari. Saat
siang, ibu kebanyakan tidur atau memasak. Ibu lebih senang tidur setelah
menyiapkan semua keperluanku. Karena tak ada teman sebaya di tempat kost, aku
lebih sering membantu ibu. Masak, mengurus rumah ataupun menjemur pakaian.
Yang jadi pertanyaan, kenapa ibu kerjanya selalu malam
hari? Kadang heran juga, perasaan teman-temanku orang tanya kerja siang hari. Setiap
bertanya seperti itu, ibu akan menjawab memang jam kerjanya malam. Masa malam
terus, sih? Hanya ada libur 2 ataupun 3 hari yang akan dihabiskan ibu dengan
tidur karena capek. Atau mengajakku main ke mall
dan berenang.
Eh, iya ada Lili, teman sekolah yang ibunya perawat.
Katanya ibunya sering juga kerja malam. Gantian, bisa siang ataupun malam hari,
tergantung jadwal. Saat kerja siang, malam hari ibu Lili bisa bercerita banyak.
Katanya ibunya pandai mendongeng. Kisah tentang Bawang Putih dan Bawang Merah,
Timun Emas hingga cerita-cerita lucu.
Seringkali aku iri dibuatnya. Mana pernah Ibu bercerita
seperti itu? Saat di rumah ibu sudah capek dan ngantuk. Tugas sekolah saja seringnya
kukerjakan sendiri. Ibu hanya membantu saat ia sempat saja. Dan untunglah, aku
selalu mampu menyelesaikannya dengan baik. Senangnya lagi, Lili sering
menceritakana kisah dan cerita ibunya padaku. Lili memang teman yang baik.
Begitu juga bapaknya Rio, yang kerjanya di pabrik.
Kerjanya bisa malam ataupun siang hari. Saat pulang, sering memberikan makanan
kesukaannya, terang bulan. Makanya Rio gendut, mungkin terlalu sering dibelikan
terang bulan manis oleh ayahnya.
Beda lagi dengan Adi. Ayahnya seorang guru. Tentunya akan
sangat mudah ketika Adi kesulitan dalam belajar. Tanya langsung ke ayahnya saja
pasti mudah. Semua tugas sekolah mampu dikerjakannya dengan baik. Itu kalau Adi
bertanya. Karena Adi salah satu temanku yang pintar. Asyiknya lagi, kalau ayah
dan ibunya bersepeda bareng keliling kampung. Adi pasti ikut.
Duh, kapan aku bersepeda sama ibu? Sepeda hanya kupakai
memutar halaman tempat kost. Tak pernah ibu menemaniku, atau melihatku
bersepeda. Mungkin karena ia sudah terlalu capek bekerja di malam hari.
Tetap saja tak kutemukan jawaban kenapa ibu kerjanya
malam.
Entahlah,
aku hanya ingin tidur ditemani ibu....
^^^
Masih teringat di pikiranku, waktu itu malam minggu. Jalanan
di depan tempat kost begitu ramainya. Menjelang siang, macet. Hiruk pikuk
kendaraan dari beragam daerah lewat. Mumpung malam libur, banyak orang
menggunakan kesempatan untuk refreshing dan bermain ke tempat yang berhawa
sejuk.
Meskipun begitu aku merasa sepi dan senyap. Kuharap malam
minggu ini ibu libur kerja. Ternyata tak seperti harapanku, dari siang ibu telah
pergi. Dan Tante Monalah yang setengah repot membelikanku makanan. Meskipun aku
bisa beli makanan sendiri, tapi Tante Mona melarang. Sepertinya ibu telah
berpesan untuk menjagaku. Kebetulan Tante Mona sedang dapat jatah libur kerja
dari pabrik tempat ia bekerja.
Sehabis sholat Isya sepi mulai menyapa. Walau makin
malam, di luar makin ramai, tapi hati terasa sunyi. Kupeluk erat boneka beruang
coklat. Beruang yang selalu menemani kesendirianku. Di kamar mungil dengan cat
warna biru, kamarku bersama ibu, kurapatkan mataku rapat-rapat. Tentu setelah
tak lupa mengunci pintu dan jendela seperti biasanya. Seperti pesan ibu.
Aku hanya ingin tidur, tapi mata tak mau kompromi. Ngantuk
tak kunjung datang. Kupaksa mataku merem dengan boneka beruang berbulu lembut
itu. Kubayangkan ibu menemaniku tidur malam ini.
Sebuah kamar bernuansa biru terasa lebih besar di
sekelilingku. Mulutku terbuka. Kamar siapa ini? Kulihat beruang coklat masih
ada di tangan, kupeluk erat. Bedanya, tempat tidurku mendadak berubah lebih
luas. Busanya empuk. Bantal gulingnya juga empuk. Selimut tebal berwarna biru
membuat tubuh terasa hangat.
Ada kamar mandi dalam kamar besar dan mewah. Kuucek mata
berkali-kali, ini bukan kamarku. Kenapa aku berada di sini? Harum ruangan
semerbak memenuhi penciuman. Bukan wangi parfun ibu. Harumnya nggak murahan.
Wangi asli. Kupaparkan pandangan ke seluruh penjuru. Di sana, tepat di atas meja
kecil dekat tempat tidur, ada vas bunga. Dengan mawar merah di dalamnya.
Oh, makanya wanginya benar-benar mempesona. Kusingkirkan
selimut dari tubuh. Beranjak turun dari tempat tidur lalu mendekati mawar merah
yang baunya sungguh membuat penciumanku luluh lantak karenanya. Belum sampai ke
sana, sebuah suara memanggil namaku.
“Ara... Ara!”
Pendengaranku berdiri.
“Ara!”
Suara itu begitu keras, menyentak. Mataku mengerjap, mawar
merah itu tetap anggun. Dan oh... boneka beruang masih kupeluk erat. Kukerjapkan
mata sekali lagi.
Dan blar! Kamar besar berwarna biru telah lenyap.
Berganti kamar. Kamar yang menemai kesendirian bersama boneka beruang.
“Ara!”
Tok Tok Tok!
Aku terkesiap. Ya Allah, kucubit lenganku, aku mimpi!
Segera tubuhku tegak di sisi tempat tidur. Ada yang
memanggilku dan suara ketukan pintu. Rasa cemas dan ketakutan menghantui.
Kulihat jam di atas pintu kamar. Hampir pukul satu dini hari. Kulirik bantal
ibu, masih kosong, artinya ibu belum pulang.
Siapa gerangan di luar sana?
Atau, suara hantu? Hiii... tengkuk berasa dingin. Tubuh
mulai bergetar. Ini bukan malam Jum’at Kliwon, kan?
“Ara, bukain pintu, ini Ibu!”
Ya Allah, baru sadar itu suara ibu. Tapi baru jam segini?
Nggak biasanya ibu sudah pulang. Biasanya ibu pulang menjelang subuh atau
selewat subuh. Tak begitu kuhiraukan pikiranku yang meracau.
Artinya,
ibu akan menemaniku tidur malam ini, itu saja.
Ketakutan lenyap begitu saja. Tapi, tumben ibu mengetuk
pintu? Bukankah ibu bawa kunci duplikat? Bergegas aku ke ruang tamu, yang tepat
persis di depan kamar. Dan aku terpaku di pintu, kunci masih terpasang di sana.
Rupanya aku lupa mencabutnya dari lubang kunci. Bagaimana bisa ibu membukanya
dari luar?
“Ara, Ara....”
“Iy... iya, Bu,” jawabku serak.
Dan gedoran itu membuatku segera membuka kuncinya.
“Bentar, Bu.”
Pintu terbuka dan senyumku mengembang dengan lebarnya. Pokoknya
malam ini ibu akan menemaniku tidur, seperti janji-janjinya. Janji-janji lama
yang terus akan kuingat.
Namun, ibu dengan cepat menerobos masuk. Hampir
menabrakku. Bau menyengat kurasakan dari tubuh ibu.
“Kenapa kunci nggak kau ambil, Ra?” Mata ibu menghujam
penuh kekesalan.
Senyumku menguap, ibu marah....
“Lupa, Bu,” kutundukkan wajah dalam-dalam.
Ibu hanya mendesah panjang, kulihat mata ibu merah dan
sembab. Mungkinkah ibu menangis? Hanya membatin. Sebuah pertanyaan dari mulutku
bisa jadi malah membuat ibu meradang. Meskipun, ibu jarang marah. Dan ibu
sepertinya tak ingin aku tahu bahwa aku tahu ia menangis.
Kulihat gerak langkah ibu setelah menaruh tas. Bergegas
ibu ke kamar mandi. Cibang cibung suara air terdengar. Menandakan ibu mandi air
dingin, tanpa memanaskan air terlebih dahulu. Tak biasanya ibu mandi air dingin
tengah malam begini. Entahlah, ibu kenapa jadi aneh?
Kantukku lenyap
seketika. Pintu depan kembali kukunci, lalu masuk kamar. Berharap ibu tak marah.
Atau setidaknya ibu akan mau menemaniku tidur. Walau tanpa ada cerita seperti
ibunya Lili. Aku tahu ibu pasti sangat capek kerja dari siang hingga tengah malam
begini.
Tubuh kubungkus selimut rapat-rapat. Tak lupa boneka
beruang coklat kesayangan. Kulanjutkan merapatkan mata sepenuhnya, berharap
mimpi tentang kamar luas dan bunga mawar merah tadi menghiasi tidur kembali.
Dari
lubuk paling dalam, aku menunggu ibu. Masuk kamar dan menemaniku tidur, hanya
itu....
Tak berapa lama kurasa terlelap, tapi terbangun oleh
sentuhan lembut di kening. Ah, aku tersenyum. Semoga mimpi bersama ibu. Mataku
terus terpejam. Sentuhan itu begitu nyata. Perlahan, mataku terbuka. Kulihat, ibu
tampak membelai dengan lembut. Pemandangan yang sudah kunantikan lama.
Benar-benar
ibu menemaniku malam ini, malam minggu ini.
Kukatupkan mataku lagi, sambil melirik ibu yang tampak
masih terbuka matanya dan ada air mata di sana! Kepalaku mendongak, kegeserkan
tubuh lebih mendekati ibu.
“Ibu nangis?” tanyaku pelan.
Terlihat segumpal keresahan dan kekagetan bersamaan tatapan
ibu yang memandang lembut. Diusapnya air mata.
“Kok bangun?” suara ibu serak.
“Kok Ibu nangis?”
Bukan jawaban, hanya pelukan ibu benar-benar merasuk ke
jiwa. Lama sekali tak kurasakan pelukan sehangat ini.
“Ibu ingat simbah,” jawabnya singkat.
“Simbah?” Entah kapan terakhir kali aku mendengar kata
simbah. Aneh, ibu kangen simbah? Orang tua yang dulu marah-marah ketika datang ke
kost ini?
^^^
Ingatanku
melayang beberapa tahun lalu.
“Pulang!”
Suara mengggelegar mbah kung yang dipanggil ayah oleh ibu
itu membuat ibu sesenggukan. Tubuh tinggi dengan wajah tegas tetap terlihat
wibawanya. Kupikir, mbah kung sudah sangat berumur, namun suara dan gerak
tubuhnya terlihat kokoh dan gesit. Dengan baju koko warna coklat dan celana
hitam serta berpeci, menambah kewibawaannya. Ia mirip pak ustaz di televisi
yang kadang aku tonton.
“Maumu apa?” kembali suara berat itu mampu membuat bahu
ibu naik turun tak karuan. Tangisannya kian keras, tak bisa ditahannya. Gelengan
kepala dan air mata yang membuat rambutku basah karena berada di pelukannya.
“Pak, biar....” mbah uti selalu menyejukkan. Ingin
ngomong sesuatu. Tapi....
“Diam,” sahut mbah kung ketus.
“Kau mau Ara hidup seperti ini, ha?”
Hening, mbah uti, mbah kung, dan nafasku yang serasa
tertahan di kerongkongan. Hilir mudik langkah mbah kung begitu menggangguku.
Sudut mataku melihat dengan jelas. Kegelisahan terlihat di sana. Ada apa?
“Jawab!” Tangan kekarnya menuding ibu.
“A... Ara tanggung jawabku, Ayah.”
Suara ibu timbul tenggelem di tengah tangisnya. Tampak mbah
uti mengelus punggung ibu. Mbah uti tak kalah cantik dari ibu, aku yakin saat
muda beliau sangat cantik, secantik ibu. Dengan gamis coklat muda dan kerudung
panjang yang membuatnya terlihat anggun. Walau sudah sepuh mbah uti tetap terlihat santun dan penyabar.
“Sabar....” Katanya lembut. Aku coba direngkuhnya, tapi
aku memilih bersama ibu.
“Kita pulang!” tampak mbah kung menarik tangan mbah uti.
“Bentar, Pak,” mbah uti menolak.
“Tak ada gunanya ngomong sama anak wedok koyo ngono kui,”
kata mbah kung meredamkan suara. Dengan nafas yang masih tersengal oleh marah.
Bahasanya campur dalam Bahasa Jawa yang artinya seorang anak perempuan seperti
itu.
“Jangan sampai kau buat Ara sepertimu! Ingat itu!” tegas
mbah kung sambil tangannya nunjuk-nunjuk ke aku.
Tampak ibu semakin menunduk dengan tangisan yang
membanjiri rambutku. Mbah uti ikut menangis.
“Biar Ara sama mbahne,”
kata mbah uti pelan. Ibu tetap menggelengkan kepala kuat-kuat. Seperti ia
memeluk tubuhku makin kuat.
“Wes, benke,”
kata mbah kung kesal bukan main.
Dibiarkan? Bahasa campur aduk yang membuatku bertanya-tanya.
Bahu mbah uti naik turun menahan tangis. Tapi mbah kung
tak peduli. Tetap ditariknya tangan mbah uti, keluar kost. Berjalan beriringan
ke mobil yang diparkir di halaman. Suara derunya membuatku tercekat.
Dan aku tetap bersama ibu sampai detik ini. Mbah uti dan mbah kung tak pernah datang lagi menemui ibu, atau aku.
Baca Juga:
0 komentar:
Posting Komentar