Kamis, 30 Januari 2025

Temani Aku Malam Ini, Ibu (Part 1)

 Temani Aku Malam Ini, Ibu

 (Part 1)

Keinginanku teramat sederhana, Ibu mau menemaniku tidur saat malam tiba. Walau itu hanya sesaat.

             “Ibu pergi dulu.”

Cup, cup, cup, 3 kali kecupan ibu mendarat di kening. Kuacuhkan tontonan di televisi. Seperti biasa, aku ganti memeluk dan mencium pipi ibu. Parfum yang menyengat seketika memenuhi hidung.



Uhuk, uhuk, sampai terbatuk saking wanginya, tak tahan. Harum, sih, tapi keterlaluan harumnya. Walau seringkali membaui, selalu saja aku terbatuk karenanya.

“Ah, kau Ara. Tak suka parfun Ibu?”

Tak begitu kuhiraukan pertanyaan ibu.

“Ara tidur sendiri lagi?” tanyaku sendu. Lama sekali tak dikeloni ibu. Tiap malam, ibu selalu pergi kerja.

“Hmmm, belum bisa malam ini,” jawab ibu singkat. “Belajar baik-baik, ya,” katanya lagi.

Ingin merengek, tapi kuurungkan. Akhirnya hanya mengangguk. Meski, nafasku tertahan. Rasanya ingin menangis hampir setiap malam ditinggal sendiri.

“A... aku ingin tidur sama ibu,” kataku pelan. Akhirnya. Pandangan ibu ke arahku.

“Kapan-kapan. Ara sudah besar, hampir 11 tahun.”

“Tapi, Bu....” Ngeyel, sesekali tak apa, kan?

“Ibu harus kerja, Ara,” suara ibu tandas. Kutundukkan kepala dalam-dalam.

“Malu kan masih tidur ditemani Ibu terus?” kata ibu. “Toh nanti kalau pulang Ibu juga tidur bareng Ara.”

Iya, tapi nanti, saat subuh hampir datang. Saat aku sudah mau bangun.

Ibu selalu begitu, menganggapku sudah besar. Lalu, kapan ibu mau menemaniku tidur barang sesaat saja? Kuikuti langkah ibu. Melihat ibu mengambil tas mungilnya, membetulkan kaos warna pink dan rok panjang jins yang dipakainya. Panjang, tapi belahannya sampai atas, aku menghela nafas panjang. Bahkan teramat panjang.

Kata bu guru ngaji di musholla, perempuan kalau pakai baju harus menutup aurat. Mungkin ibu tak sempat menyeterika rok ataupun celana panjang lainnya, batinku.

“Jangan lupa kunci pintu.” Ibu menoleh sebelum menutup pintu. Pesan yang sudah kuhapal. Kost kecil yang hanya kutempati bersama ibu. Yang telah menemani kesendirianku di tahun-tahun belakangan ini, setiap malam.

Ada 4 kamar kost lain. Penghuninya begitu ramah padaku, orang-orang dewasa. Terlampau dewasa untuk menjadi teman main. Kadang, aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Bahkan, apa yang mereka lakukan.

Di halaman kost yang tak begitu luas, sudah menunggu seseorang. Teman lelaki ibu. Ibu pergi setelah menutup pintu. Cepat-cepat aku beranjak ke gorden ruang tamu yang sekalian kugunakan sebagai tempat belajar dan bermain. Melongokkan kepala sambil membuka sedikit gorden. Penerangan lampu di depan amat terang, aku bisa melihat di luar dengan jelas. Di sana, terparkir mobil warna putih. Kelihatannya mobil mahal seperti kalau kulihat iklannya di televisi.

Seorang lelaki perlente bersandar di samping pintu mobil. Menyambut ibu dengan senyuman mengembang. Kecupan kecil mendarat di pipi ibu. Cipika dan cipiki, aku biasa melihatnya. Lalu ibu digandengnya. Aku terpekik. Meskipun banyak teman ibu main dan sering melihatnya, aku selalu saja tak rela melihatnya. Rasanya ingin keluar, teman ibu begitu kurang ajar. Tapi, kuurungkan niatku.

Kata orang-orang, itulah dunia malam. Katanya. Apa itu? Aku hanya samar-samar mengerti. Untuk tak mengerti sama sekali. Memang aku belum mengerti.

Setelah ibu dan lelaki itu masuk, mobil warna putih itu segera meluncur meninggalkan keherananku. Ah, ibu, kenapa hanya karena ingin pergi main aku tak pernah ditemani saat malam tiba?

Rasanya, sudah lama sekali tak tidur ditemani ibu ketika malam menerjang.

Seperti senja menjelang malam ini. Ba’da maghrib ibu biasanya sudah rapi dan cantik sekali. Lalu, ibu akan pergi begitu saja meninggalku, di tempat kost sendirian. Meskipun tempat kost ini ada 5 kamar lain dan langsung terhubung ke halaman, tetap saja aku hanya ingin bersama ibu.

Sebetulnya tak begitu masalah buatku, walaupun ditinggal ibu sendiri. Tante-tante yang kost di samping kamar baik semuanya. Mereka selalu ada untukku, tapi tak mungkin kan mereka menemaniku tidur? Mereka sudah punya keluarga sendiri. Ada juga yang setiap malam pergi seperti ibu. Katanya, kerjaannya sama seperti ibu.

Tak terasa, mataku basah. Kututup gorden. Saat hendak mengunci pintu seperti pesan ibu, ada ketukan halus.

“Ara.”

Suara Tante Mona, yang tempat kostnya persis di samping. Kembali kubuka gorden. Benar, ada Tante Mona di depan pintu.

“Ara,” suara Tante Mona lagi.

“Ya, Tante,” kujawab sambil cepat mengusap luh yang keluar tanpa terasa. Kubuka handle pintu dan tepat dihadapanku senyum Tante Mona mengembang. Aroma makanan khas nan lezat membuat senyumku ikut mengembang. Tangannya menyodorkan sekotak kecil makanan.

“Nih, buatmu,” kata Tante Mona yang langsung kuterima dengan senang hati.

“Ma... makasih, Tante,” jawabku senang.

“Ibumu pergi?” Tante Mona bertanya basa basi. Pasti tahu kalau tadi ibu pergi bersama seorang lelaki. Kuanggukkan kepala.

“Barusan,” jawabku cepat.

“Ya udah, makan aja martabaknya. Tante mau pergi juga. Tuh udah ditunggu.” Tante Mona menunjuk motor yang diparkir persis di depan kamarnya. Aku hanya manggut-manggut. Kuucapkan terima kasih sekali lagi padanya.

Begitu Tante Mona berlalu pintu langsung kututup dan kukunci. Biasanya aku akan melepaskan kunci dari tempatnya. Menaruhnya di bawah taplak meja. Supaya nanti saat pulang subuh ataupun dini hari ibu tak perlu membangunkanku. Karena ibu memiliki kunci duplikat. Begitulah pesan ibu selalu. Karena sering ditinggalkannya hampir setiap malam.

Sudahlah, aku ingin sekali makan martabak lezat dulu. Sayang, hasrat makanku terkubur tiba-tiba saat ingat ibu. Kulanjutkan menangis, di hadapan martabak yang menggiurkan itu. Ingin rasanya, tapi rasa lapar telah menguap.

Kuharap malam ini ibu pulang lebih awal dari biasanya.

^^^

Mutiara namaku, ibu lebih sering memanggilku Ara. Begitupun teman-teman ibu dan teman-temanku. Hidupku hanya bersama ibu. Tak pernah kenal kata ayah atau bapak. Ibu selalu bilang ayah pergi ketika aku bayi. Mungkin sekarang telah meninggal. Aku hanya mengiyakan. Setiap kubertanya lebih panjang, ibu akan mengalihkan topik pembicaraan.

Berdua kami tinggal di kota kecil penuh tempat wisata. Apabila hari libur ataupun Sabtu dan Minggu, jalanan selalu macet parah. Banyak tempat kuliner, wisata hingga hotel kecil dan berbintang. Pokoknya, kota kecilku ini sangat menarik bagi banyak orang dari luar daerah. Tempatnya sejuk dengan pemandangan menawan hati.

Seringkali aku tak paham dan bingung dengan apa yang terjadi. Mungkin, karena usiaku yang masih kecil. Ibu kerjanya malam hari. Saat siang, ibu kebanyakan tidur atau memasak. Ibu lebih senang tidur setelah menyiapkan semua keperluanku. Karena tak ada teman sebaya di tempat kost, aku lebih sering membantu ibu. Masak, mengurus rumah ataupun menjemur pakaian.

Yang jadi pertanyaan, kenapa ibu kerjanya selalu malam hari? Kadang heran juga, perasaan teman-temanku orang tanya kerja siang hari. Setiap bertanya seperti itu, ibu akan menjawab memang jam kerjanya malam. Masa malam terus, sih? Hanya ada libur 2 ataupun 3 hari yang akan dihabiskan ibu dengan tidur karena capek. Atau mengajakku main ke mall dan berenang.

Eh, iya ada Lili, teman sekolah yang ibunya perawat. Katanya ibunya sering juga kerja malam. Gantian, bisa siang ataupun malam hari, tergantung jadwal. Saat kerja siang, malam hari ibu Lili bisa bercerita banyak. Katanya ibunya pandai mendongeng. Kisah tentang Bawang Putih dan Bawang Merah, Timun Emas hingga cerita-cerita lucu.

Seringkali aku iri dibuatnya. Mana pernah Ibu bercerita seperti itu? Saat di rumah ibu sudah capek dan ngantuk. Tugas sekolah saja seringnya kukerjakan sendiri. Ibu hanya membantu saat ia sempat saja. Dan untunglah, aku selalu mampu menyelesaikannya dengan baik. Senangnya lagi, Lili sering menceritakana kisah dan cerita ibunya padaku. Lili memang teman yang baik.

Begitu juga bapaknya Rio, yang kerjanya di pabrik. Kerjanya bisa malam ataupun siang hari. Saat pulang, sering memberikan makanan kesukaannya, terang bulan. Makanya Rio gendut, mungkin terlalu sering dibelikan terang bulan manis oleh ayahnya.

Beda lagi dengan Adi. Ayahnya seorang guru. Tentunya akan sangat mudah ketika Adi kesulitan dalam belajar. Tanya langsung ke ayahnya saja pasti mudah. Semua tugas sekolah mampu dikerjakannya dengan baik. Itu kalau Adi bertanya. Karena Adi salah satu temanku yang pintar. Asyiknya lagi, kalau ayah dan ibunya bersepeda bareng keliling kampung. Adi pasti ikut.

Duh, kapan aku bersepeda sama ibu? Sepeda hanya kupakai memutar halaman tempat kost. Tak pernah ibu menemaniku, atau melihatku bersepeda. Mungkin karena ia sudah terlalu capek bekerja di malam hari.

Tetap saja tak kutemukan jawaban kenapa ibu kerjanya malam. 

Entahlah, aku hanya ingin tidur ditemani ibu....

^^^

Masih teringat di pikiranku, waktu itu malam minggu. Jalanan di depan tempat kost begitu ramainya. Menjelang siang, macet. Hiruk pikuk kendaraan dari beragam daerah lewat. Mumpung malam libur, banyak orang menggunakan kesempatan untuk refreshing dan bermain ke tempat yang berhawa sejuk.

Meskipun begitu aku merasa sepi dan senyap. Kuharap malam minggu ini ibu libur kerja. Ternyata tak seperti harapanku, dari siang ibu telah pergi. Dan Tante Monalah yang setengah repot membelikanku makanan. Meskipun aku bisa beli makanan sendiri, tapi Tante Mona melarang. Sepertinya ibu telah berpesan untuk menjagaku. Kebetulan Tante Mona sedang dapat jatah libur kerja dari pabrik tempat ia bekerja.

Sehabis sholat Isya sepi mulai menyapa. Walau makin malam, di luar makin ramai, tapi hati terasa sunyi. Kupeluk erat boneka beruang coklat. Beruang yang selalu menemani kesendirianku. Di kamar mungil dengan cat warna biru, kamarku bersama ibu, kurapatkan mataku rapat-rapat. Tentu setelah tak lupa mengunci pintu dan jendela seperti biasanya. Seperti pesan ibu.

Aku hanya ingin tidur, tapi mata tak mau kompromi. Ngantuk tak kunjung datang. Kupaksa mataku merem dengan boneka beruang berbulu lembut itu. Kubayangkan ibu menemaniku tidur malam ini.

Sebuah kamar bernuansa biru terasa lebih besar di sekelilingku. Mulutku terbuka. Kamar siapa ini? Kulihat beruang coklat masih ada di tangan, kupeluk erat. Bedanya, tempat tidurku mendadak berubah lebih luas. Busanya empuk. Bantal gulingnya juga empuk. Selimut tebal berwarna biru membuat tubuh terasa hangat.

Ada kamar mandi dalam kamar besar dan mewah. Kuucek mata berkali-kali, ini bukan kamarku. Kenapa aku berada di sini? Harum ruangan semerbak memenuhi penciuman. Bukan wangi parfun ibu. Harumnya nggak murahan. Wangi asli. Kupaparkan pandangan ke seluruh penjuru. Di sana, tepat di atas meja kecil dekat tempat tidur, ada vas bunga. Dengan mawar merah di dalamnya.

Oh, makanya wanginya benar-benar mempesona. Kusingkirkan selimut dari tubuh. Beranjak turun dari tempat tidur lalu mendekati mawar merah yang baunya sungguh membuat penciumanku luluh lantak karenanya. Belum sampai ke sana, sebuah suara memanggil namaku.

“Ara... Ara!”

Pendengaranku berdiri.  

“Ara!”

Suara itu begitu keras, menyentak. Mataku mengerjap, mawar merah itu tetap anggun. Dan oh... boneka beruang masih kupeluk erat. Kukerjapkan mata sekali lagi.

Dan blar! Kamar besar berwarna biru telah lenyap. Berganti kamar. Kamar yang menemai kesendirian bersama boneka beruang.

“Ara!”

Tok Tok Tok!

Aku terkesiap. Ya Allah, kucubit lenganku, aku mimpi!

Segera tubuhku tegak di sisi tempat tidur. Ada yang memanggilku dan suara ketukan pintu. Rasa cemas dan ketakutan menghantui. Kulihat jam di atas pintu kamar. Hampir pukul satu dini hari. Kulirik bantal ibu, masih kosong, artinya ibu belum pulang.

Siapa gerangan di luar sana?

Atau, suara hantu? Hiii... tengkuk berasa dingin. Tubuh mulai bergetar. Ini bukan malam Jum’at Kliwon, kan?

“Ara, bukain pintu, ini Ibu!”

Ya Allah, baru sadar itu suara ibu. Tapi baru jam segini? Nggak biasanya ibu sudah pulang. Biasanya ibu pulang menjelang subuh atau selewat subuh. Tak begitu kuhiraukan pikiranku yang meracau.

Artinya, ibu akan menemaniku tidur malam ini, itu saja.

Ketakutan lenyap begitu saja. Tapi, tumben ibu mengetuk pintu? Bukankah ibu bawa kunci duplikat? Bergegas aku ke ruang tamu, yang tepat persis di depan kamar. Dan aku terpaku di pintu, kunci masih terpasang di sana. Rupanya aku lupa mencabutnya dari lubang kunci. Bagaimana bisa ibu membukanya dari luar?

“Ara, Ara....”

“Iy... iya, Bu,” jawabku serak.

Dan gedoran itu membuatku segera membuka kuncinya.

“Bentar, Bu.”

Pintu terbuka dan senyumku mengembang dengan lebarnya. Pokoknya malam ini ibu akan menemaniku tidur, seperti janji-janjinya. Janji-janji lama yang terus akan kuingat.

Namun, ibu dengan cepat menerobos masuk. Hampir menabrakku. Bau menyengat kurasakan dari tubuh ibu.

“Kenapa kunci nggak kau ambil, Ra?” Mata ibu menghujam penuh kekesalan.

Senyumku menguap, ibu marah....

“Lupa, Bu,” kutundukkan wajah dalam-dalam.

Ibu hanya mendesah panjang, kulihat mata ibu merah dan sembab. Mungkinkah ibu menangis? Hanya membatin. Sebuah pertanyaan dari mulutku bisa jadi malah membuat ibu meradang. Meskipun, ibu jarang marah. Dan ibu sepertinya tak ingin aku tahu bahwa aku tahu ia menangis.

Kulihat gerak langkah ibu setelah menaruh tas. Bergegas ibu ke kamar mandi. Cibang cibung suara air terdengar. Menandakan ibu mandi air dingin, tanpa memanaskan air terlebih dahulu. Tak biasanya ibu mandi air dingin tengah malam begini. Entahlah, ibu kenapa jadi aneh?

 Kantukku lenyap seketika. Pintu depan kembali kukunci, lalu masuk kamar. Berharap ibu tak marah. Atau setidaknya ibu akan mau menemaniku tidur. Walau tanpa ada cerita seperti ibunya Lili. Aku tahu ibu pasti sangat capek kerja dari siang hingga tengah malam begini.

Tubuh kubungkus selimut rapat-rapat. Tak lupa boneka beruang coklat kesayangan. Kulanjutkan merapatkan mata sepenuhnya, berharap mimpi tentang kamar luas dan bunga mawar merah tadi menghiasi tidur kembali.

Dari lubuk paling dalam, aku menunggu ibu. Masuk kamar dan menemaniku tidur, hanya itu....

Tak berapa lama kurasa terlelap, tapi terbangun oleh sentuhan lembut di kening. Ah, aku tersenyum. Semoga mimpi bersama ibu. Mataku terus terpejam. Sentuhan itu begitu nyata. Perlahan, mataku terbuka. Kulihat, ibu tampak membelai dengan lembut. Pemandangan yang sudah kunantikan lama.

Benar-benar ibu menemaniku malam ini, malam minggu ini.

Kukatupkan mataku lagi, sambil melirik ibu yang tampak masih terbuka matanya dan ada air mata di sana! Kepalaku mendongak, kegeserkan tubuh lebih mendekati ibu.

“Ibu nangis?” tanyaku pelan.

Terlihat segumpal keresahan dan kekagetan bersamaan tatapan ibu yang memandang lembut. Diusapnya air mata.

“Kok bangun?” suara ibu serak.

“Kok Ibu nangis?”

Bukan jawaban, hanya pelukan ibu benar-benar merasuk ke jiwa. Lama sekali tak kurasakan pelukan sehangat ini.

“Ibu ingat simbah,” jawabnya singkat.

“Simbah?” Entah kapan terakhir kali aku mendengar kata simbah. Aneh, ibu kangen simbah? Orang tua yang dulu marah-marah ketika datang ke kost ini?

^^^

Ingatanku melayang beberapa tahun lalu.

            “Pulang!”

Suara mengggelegar mbah kung yang dipanggil ayah oleh ibu itu membuat ibu sesenggukan. Tubuh tinggi dengan wajah tegas tetap terlihat wibawanya. Kupikir, mbah kung sudah sangat berumur, namun suara dan gerak tubuhnya terlihat kokoh dan gesit. Dengan baju koko warna coklat dan celana hitam serta berpeci, menambah kewibawaannya. Ia mirip pak ustaz di televisi yang kadang aku tonton.

“Maumu apa?” kembali suara berat itu mampu membuat bahu ibu naik turun tak karuan. Tangisannya kian keras, tak bisa ditahannya. Gelengan kepala dan air mata yang membuat rambutku basah karena berada di pelukannya.

“Pak, biar....” mbah uti selalu menyejukkan. Ingin ngomong sesuatu. Tapi....

“Diam,” sahut mbah kung ketus.

“Kau mau Ara hidup seperti ini, ha?”

Hening, mbah uti, mbah kung, dan nafasku yang serasa tertahan di kerongkongan. Hilir mudik langkah mbah kung begitu menggangguku. Sudut mataku melihat dengan jelas. Kegelisahan terlihat di sana. Ada apa?

“Jawab!” Tangan kekarnya menuding ibu.

“A... Ara tanggung jawabku, Ayah.”

Suara ibu timbul tenggelem di tengah tangisnya. Tampak mbah uti mengelus punggung ibu. Mbah uti tak kalah cantik dari ibu, aku yakin saat muda beliau sangat cantik, secantik ibu. Dengan gamis coklat muda dan kerudung panjang yang membuatnya terlihat anggun. Walau sudah sepuh mbah uti tetap terlihat santun dan penyabar.

“Sabar....” Katanya lembut. Aku coba direngkuhnya, tapi aku memilih bersama ibu.

“Kita pulang!” tampak mbah kung menarik tangan mbah uti.

“Bentar, Pak,” mbah uti menolak.

“Tak ada gunanya ngomong sama anak wedok koyo ngono kui,” kata mbah kung meredamkan suara. Dengan nafas yang masih tersengal oleh marah. Bahasanya campur dalam Bahasa Jawa yang artinya seorang anak perempuan seperti itu.

“Jangan sampai kau buat Ara sepertimu! Ingat itu!” tegas mbah kung sambil tangannya nunjuk-nunjuk ke aku.

Tampak ibu semakin menunduk dengan tangisan yang membanjiri rambutku. Mbah uti ikut menangis.

“Biar Ara sama mbahne,” kata mbah uti pelan. Ibu tetap menggelengkan kepala kuat-kuat. Seperti ia memeluk tubuhku makin kuat.

Wes, benke,” kata mbah kung kesal bukan main.

Dibiarkan? Bahasa campur aduk yang membuatku bertanya-tanya.

Bahu mbah uti naik turun menahan tangis. Tapi mbah kung tak peduli. Tetap ditariknya tangan mbah uti, keluar kost. Berjalan beriringan ke mobil yang diparkir di halaman. Suara derunya membuatku tercekat.

Dan aku tetap bersama ibu sampai detik ini. Mbah uti dan mbah kung tak pernah datang lagi menemui ibu, atau aku.


Baca Juga:

Secret Admirer

Takhluk

Separuh Jiwa

This entry was posted in

0 komentar:

Posting Komentar