Temani Aku Malam Ini, Ibu (Part 2)
Rasanya sudah lama sekali, bahkan aku tak begitu
mengingatnya dengan baik. Simbah adalah panggilan buat orang tua dari ibuku. Simbah
atau mbah uti untuk nenek dan mbah kung untuk kakek. Kenapa mereka marah-marah
dan tak pernah datang kembali?
Sudahlah, aku tak mengerti urusan orang tua.
“Ara tidur lagi, ya, sebentar lagi subuh. Nanti Ibu
bangunin,” kata ibu lagi sambil kembali mengelus rambutku.
Subuh? Ibu mau membangunkanku saat subuh? Tak biasanya ibu
ingat sholat. Setiap kuingatkan untuk sholat, ibu selalu berkilah, entarlah,
sibuklah dan lain sebaginya. Aku tak pernah memaksa. Kalaupun akhirnya ibu mau
sholat, itu luar biasa sekali.
Akhirnya aku tertidur lagi untuk beberapa saat. Saat
mataku melek, tampak ibu sedang bedoa dengan mukena biru terang. Mukena yang
selalu rapi berada di loker kamar. Karena tak pernah dipakainya.
Air mata mengucur deras membasahi pipi ibu. Bahunya
sampai naik turun, aku termangu beberapa saat. Kenapa ibu menangis lagi? Dan
ajaibnya, ibu sholat! Ini belum subuh, masih jam 4 lebih dini hari.
Artinya, sholat tahajud! Begitulah seperti pelajaran
agama di sekolah. Ajaib, takjub sekali aku melihat ibu sholat. Alhamdulillah...
Segera aku bangkit dari tidur dan memeluknya.
“Ibu...,” suaraku membuatnya kaget. Membuyarkan doa ibu. Makin
meledaklah tangisan ibu. Dipeluknya aku erat-erat. Kumandang azan subuh membuat
pelukan ibu mengendur.
“Ara, kamu wudhu, ya, kita sholat bareng.”
Senyap menggantung. Suara lantunan azan begitu indah di
telinga, sayup. Mulutku terbuka lebar. Menatap ibu tak percaya.
^^^
Hari itu hari Minggu, ibu benar-benar membuatku
terpana-pana tak karuan. Menemani tidur malamku walau hanya beberapa jam. Hal
yang sangat kuidamkan selama bertahun-tahun. Dan kami sholat bareng, berjamaah.
Pasti bu guru ngaji di musholla akan senang sekali menengar ceritaku ini.
Soalnya, bu guru ngaji sering menanyakan apakah aku pernah mengajak ibu sholat.
Kujawab ibu tak pernah mau sholat.
Kalau akhirnya ibu sholat, itu hal yang sangat
menakjubkan.
Kulihat ibu sangat capek, tapi sinar matanya berbeda.
Sehabis subuh ibu masak mi goreng, yang langsung kumakan bersama ibu. Luar
biasa enak, walaupun hanya mi instan, setiap bersama ibu selalu saja istimewa.
Di suapan terahirnya ibu menatapku lekat-lekat.
“Ara mau ketemu Simbah?” tanya ibu pelan.
“Simbah?” tanyaku ragu. Makin aneh ibu hari ini.
“Iya, simbah. Mau?”
“Memangnya simbah rumahnya mana sih, Bu?” tanyaku heran.
Aku memang belum pernah sekalipun ke rumah simbah. Setahuku simbah yang ke
sini, jaman aku kecil, itupun hanya untuk marah-marah. Lalu Ibu akan mengajakku
ke tempat simbah? Mau marah-marah lagikah?
“Apakah...,” suaraku menggangtung.
“Kenapa, Ara?”
“Apa, Simbah akan marah-marah lagi?” tanyaku, tak lupa
menayangkan rol masa lalu yang masih saja bercokol di ingatan.
Desahan nafas ibu terdengar berat. Duh, jangan-jangan
pertanyaanku salah?
“Nggak, Ibu yang salah. Simbah marah karena Ibu nggak mau
dibilangin,” jawab ibu tersenyum.
“Oh...,” aku ber-oh panjang manggut-manggut.
“Agak siang ya kita ke Simbah. Naik motor saja. Paling satu
jam sampai,” kata ibu sambil minum air putih.
Drrttt, drrttt, suara ponsel ibu terdengar, obrolan kami
terhenti. Segera ibu menjawabnya.
[Assalamualaikum]
Suara seorang tua perempuan. Telingaku berdiri ikut menguping
pembicaraan ibu.
“Waalaikumsalam,” sahut ibu cepat.
[Jam berapa jadinya, Li?]
“Agak siang ya, Bu,” jawab ibu lagi.
Lalu ibu masih mengobrol sesuatu yang tak kutahu. Selebihnya
ibu hanya mengangguk-angguk saja dan bilang ya, beberapa kali. Hingga akhirnya ibu
mikir beberapa saat lamanya. Lalu menghela nafas panjang sekali.
Klek,
ibu mematikan dan menaruh ponselnya di meja. Menatapku sambil terlihat mikir.
“Mbah Uti
udah nanyain kita ke sana jam berapa.”
Yang
telpon mbah uti? Tumben simbah telpon? Kepalaku penuh dengan tanda tanya.
Terlihat ibu terdiam beberapa saat. Keningnya mengerut, sedang memikirkan
sesuatu.
“Mau
nggak pindah ke rumah Simbah?”
Hampir saja tersedak mendengar pertanyaan ibu. Kugelontorkan
air minum ke kerongkongan banyak-banyak.
“Pindah?”
Ibu
menganggukkan kepalanya, mantap.
“Ara
mau?”
Aku
diam, bingung.
“Kita
nggak kost lagi.”
Aku
masih diam, bengong lebih tepatnya. Melihat langit kamar bingung. Memandang ibu
tak percaya. Bagaimana bisa pindah ke rumah simbah?
“Rumahnya
luas, halamannya luas. Kamu bisa bersepeda sepuasnya di sana.”
Makin
bengong aku dibuatnya. Kenangan masa lalu itu terkuak kembali.
“Marah-marah
lagi nggak?” tanyaku polos.
Sungguh aku tak suka mendengar suara-suara bentakan dan
terlampau keras. Aku tak mau itu.
Ibu menggelengkan kepala memahami kekhawatiranku. Namun,
aku sangsi. Lalu tidur malamku?
“A...
Ara bisa tidur ditemani Ibu?” tanyaku pelan. Sangat pelan.
Seketika
itu juga, ibu memelukku kencang. Rasanya nafasku terasa habis, sekejap
dikendorkannya pelukan ibu.
“Iya,
ibu akan menemanimu tidur setiap malam.”
Benarkah? Mataku mengerjap tak yakin. Lagi-lagi anggukan
kepala ibu membuatku masih menyangsikannya.
“Kerjaan
Ibu?”
Mata ibu
meredup, sayu, air mata pelan mengalir. Bahunya mulai berguncang kembali. Kenapa
ibu menangis lagi? Selama ini, ibu jarang sekali menangis. Hari ini, sudah kulihat
ibu menangis untuk beberapa kali.
“Nanti,
Ibu kerjanya siang hari. Malam menemani Ara,” jawabnya lembut. Tangannya cepat
mengusap air mata di pelupuk mata.
Rasanya
tak percaya, tapi itulah yang terjadi.
Siang hari, setelah berkemas-kemas aku dan ibu naik motor
ke rumah simbah. Yang entahlah akupun tak tahu rumahnya mana. Melalui jalan
berkelok, perkebunan kopi dan karet. Lalu jalan raya yang sangat ramai.
Sungguh, sejak itu, ibu selalu menemani tidur malamku....
*Kisah Mutiara (bukan nama sebenarnya), di Lereng Gunung
Ungaran.
^^^
Hal
sepele bagimu bisa jadi adalah hal luar biasa bagiku
Baca Juga:
0 komentar:
Posting Komentar