Jumat, 31 Januari 2025

Temani Aku Malam Ini, Ibu (Part 2)

Temani Aku Malam Ini, Ibu (Part 2)

 

Part 1 di postingan sebelumnya.

Rasanya sudah lama sekali, bahkan aku tak begitu mengingatnya dengan baik. Simbah adalah panggilan buat orang tua dari ibuku. Simbah atau mbah uti untuk nenek dan mbah kung untuk kakek. Kenapa mereka marah-marah dan tak pernah datang kembali?



Sudahlah, aku tak mengerti urusan orang tua.

“Ara tidur lagi, ya, sebentar lagi subuh. Nanti Ibu bangunin,” kata ibu lagi sambil kembali mengelus rambutku.

Subuh? Ibu mau membangunkanku saat subuh? Tak biasanya ibu ingat sholat. Setiap kuingatkan untuk sholat, ibu selalu berkilah, entarlah, sibuklah dan lain sebaginya. Aku tak pernah memaksa. Kalaupun akhirnya ibu mau sholat, itu luar biasa sekali.

Akhirnya aku tertidur lagi untuk beberapa saat. Saat mataku melek, tampak ibu sedang bedoa dengan mukena biru terang. Mukena yang selalu rapi berada di loker kamar. Karena tak pernah dipakainya.

Air mata mengucur deras membasahi pipi ibu. Bahunya sampai naik turun, aku termangu beberapa saat. Kenapa ibu menangis lagi? Dan ajaibnya, ibu sholat! Ini belum subuh, masih jam 4 lebih dini hari.

Artinya, sholat tahajud! Begitulah seperti pelajaran agama di sekolah. Ajaib, takjub sekali aku melihat ibu sholat. Alhamdulillah...

Segera aku bangkit dari tidur dan memeluknya.

“Ibu...,” suaraku membuatnya kaget. Membuyarkan doa ibu. Makin meledaklah tangisan ibu. Dipeluknya aku erat-erat. Kumandang azan subuh membuat pelukan ibu mengendur.

“Ara, kamu wudhu, ya, kita sholat bareng.”

Senyap menggantung. Suara lantunan azan begitu indah di telinga, sayup. Mulutku terbuka lebar. Menatap ibu tak percaya.

^^^

Hari itu hari Minggu, ibu benar-benar membuatku terpana-pana tak karuan. Menemani tidur malamku walau hanya beberapa jam. Hal yang sangat kuidamkan selama bertahun-tahun. Dan kami sholat bareng, berjamaah. Pasti bu guru ngaji di musholla akan senang sekali menengar ceritaku ini. Soalnya, bu guru ngaji sering menanyakan apakah aku pernah mengajak ibu sholat. Kujawab ibu tak pernah mau sholat.

Kalau akhirnya ibu sholat, itu hal yang sangat menakjubkan.

Kulihat ibu sangat capek, tapi sinar matanya berbeda. Sehabis subuh ibu masak mi goreng, yang langsung kumakan bersama ibu. Luar biasa enak, walaupun hanya mi instan, setiap bersama ibu selalu saja istimewa. Di suapan terahirnya ibu menatapku lekat-lekat.

“Ara mau ketemu Simbah?” tanya ibu pelan.

“Simbah?” tanyaku ragu. Makin aneh ibu hari ini.

“Iya, simbah. Mau?”

“Memangnya simbah rumahnya mana sih, Bu?” tanyaku heran. Aku memang belum pernah sekalipun ke rumah simbah. Setahuku simbah yang ke sini, jaman aku kecil, itupun hanya untuk marah-marah. Lalu Ibu akan mengajakku ke tempat simbah? Mau marah-marah lagikah?

“Apakah...,” suaraku menggangtung.

“Kenapa, Ara?”

“Apa, Simbah akan marah-marah lagi?” tanyaku, tak lupa menayangkan rol masa lalu yang masih saja bercokol di ingatan.

Desahan nafas ibu terdengar berat. Duh, jangan-jangan pertanyaanku salah?

“Nggak, Ibu yang salah. Simbah marah karena Ibu nggak mau dibilangin,” jawab ibu tersenyum.

“Oh...,” aku ber-oh panjang manggut-manggut.

“Agak siang ya kita ke Simbah. Naik motor saja. Paling satu jam sampai,” kata ibu sambil minum air putih.

Drrttt, drrttt, suara ponsel ibu terdengar, obrolan kami terhenti. Segera ibu menjawabnya.

[Assalamualaikum]

Suara seorang tua perempuan. Telingaku berdiri ikut menguping pembicaraan ibu.

“Waalaikumsalam,” sahut ibu cepat.

[Jam berapa jadinya, Li?]

“Agak siang ya, Bu,” jawab ibu lagi.

Lalu ibu masih mengobrol sesuatu yang tak kutahu. Selebihnya ibu hanya mengangguk-angguk saja dan bilang ya, beberapa kali. Hingga akhirnya ibu mikir beberapa saat lamanya. Lalu menghela nafas panjang sekali.

            Klek, ibu mematikan dan menaruh ponselnya di meja. Menatapku sambil terlihat mikir.

            “Mbah Uti udah nanyain kita ke sana jam berapa.”

            Yang telpon mbah uti? Tumben simbah telpon? Kepalaku penuh dengan tanda tanya. Terlihat ibu terdiam beberapa saat. Keningnya mengerut, sedang memikirkan sesuatu.

            “Mau nggak pindah ke rumah Simbah?”

Hampir saja tersedak mendengar pertanyaan ibu. Kugelontorkan air minum ke kerongkongan banyak-banyak.

            “Pindah?”

            Ibu menganggukkan kepalanya, mantap.

            “Ara mau?”

            Aku diam, bingung.

            “Kita nggak kost lagi.”

            Aku masih diam, bengong lebih tepatnya. Melihat langit kamar bingung. Memandang ibu tak percaya. Bagaimana bisa pindah ke rumah simbah?

            “Rumahnya luas, halamannya luas. Kamu bisa bersepeda sepuasnya di sana.”

            Makin bengong aku dibuatnya. Kenangan masa lalu itu terkuak kembali.

            “Marah-marah lagi nggak?” tanyaku polos.

Sungguh aku tak suka mendengar suara-suara bentakan dan terlampau keras. Aku tak mau itu.

Ibu menggelengkan kepala memahami kekhawatiranku. Namun, aku sangsi. Lalu tidur malamku?

            “A... Ara bisa tidur ditemani Ibu?” tanyaku pelan. Sangat pelan.

            Seketika itu juga, ibu memelukku kencang. Rasanya nafasku terasa habis, sekejap dikendorkannya pelukan ibu.

            “Iya, ibu akan menemanimu tidur setiap malam.”

Benarkah? Mataku mengerjap tak yakin. Lagi-lagi anggukan kepala ibu membuatku masih menyangsikannya.

            “Kerjaan Ibu?”

            Mata ibu meredup, sayu, air mata pelan mengalir. Bahunya mulai berguncang kembali. Kenapa ibu menangis lagi? Selama ini, ibu jarang sekali menangis. Hari ini, sudah kulihat ibu menangis untuk beberapa kali.

            “Nanti, Ibu kerjanya siang hari. Malam menemani Ara,” jawabnya lembut. Tangannya cepat mengusap air mata di pelupuk mata.

            Rasanya tak percaya, tapi itulah yang terjadi.

Siang hari, setelah berkemas-kemas aku dan ibu naik motor ke rumah simbah. Yang entahlah akupun tak tahu rumahnya mana. Melalui jalan berkelok, perkebunan kopi dan karet. Lalu jalan raya yang sangat ramai.

Sungguh, sejak itu, ibu selalu menemani tidur malamku....

 

*Kisah Mutiara (bukan nama sebenarnya), di Lereng Gunung Ungaran.

^^^

Hal sepele bagimu bisa jadi adalah hal luar biasa bagiku


Baca Juga:

Temani Aku Malam Ini, Ibu (Part 1)

Separuh Jiwa

Pertobatan Sugirah

This entry was posted in

0 komentar:

Posting Komentar